Lihat Nih, Megahnya Kampung Pedagang Warteg di Tegal, Semua Rumah Mewah!
Rabu, 29 Juli 2015 , 06:14:00
Rumah mewah milik penjual warteg yang merantau di Jakarta. FOTO: RADAR TEGAL
Perkampungan Pengusaha Warteg Terlihat Mewah, Liputan6.com
Seorang warga melihat salah satu rumah megah milik pedagang warung Tegal (warteg) di Desa Sidokaton, Kecamatan Dukuhturi, Tegal, 22 Maret 2015. Rumah megah itu ditinggal pemiliknya merantau ke Jakarta dan hanya dihuni tiap menjelang Hari Raya Idul Fitri. TEMPO/Dinda Leo Listy
ORANG yang baru menginjak di Desa Sidakaton dan Desa Sidapurna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, pasti akan berdecak kagum. Di dua desa tersebut, hampir semua bangunan rumah warga megah dan mewah.
Halamannya pun luas dan dilengkapi taman. Sayangnya, rumah itu kerap kosong dan hanya dihuni orang tua yang sudah berumur. Ya, kebanyakan rumah mewah itu milik para pedagang warteg yang merantau di kota-kota besar.
''Ramainya kalau Lebaran saja. Sekarang sudah sepi lagi,'' kata Faizin, salah seorang pedagang warteg, kemarin.
Kepala Desa Sidapurna, Kecamatan Dukuhturi, itu menuturkan, selama ditinggal merantau, rumah-rumah mewah tersebut hanya dihuni orang tua atau saudara si empunya rumah. Tidak sedikit pula rumah mewah yang dibiarkan kosong hingga rumput liar tumbuh subur di halamannya.
''Sebagian kecil sertifikat rumah mewah itu dijaminkan untuk pinjaman di bank,'' ujar Faizin.
Menurut dia, sertifikat rumah-rumah itu biasanya dijadikan jaminan di bank karena kondisi pedagang warteg sedang paceklik. Kondisi itu diawali dari harga sewa bangunan untuk warteg di Jakarta yang mencapai Rp 25 juta-Rp 30 juta per tahun.
Selain harga sewa bangunan yang terus melambung, pedagang warteg kewalahan mencari karyawan (pembantu masak). ''Sidakaton dan Sidapurna adalah dua desa yang bergandengan dan dikenal sebagai kampung warteg,'' ucapnya.
Sejak 1970-an, lanjut Faizin, warga di dua desa itu merantau ke Jakarta untuk membuka warung kecil-kecilan. Saat itu, warga perantau hanya menjual makanan kecil dan gorengan.
''Belum menyediakan nasi lengkap dengan sayur dan lauknya,'' ujar Faizin.
Warteg, ungkap dia, mengalami kejayaan pada 1980-1990. Sebab, harga sewa warung dan upah karyawan saat itu masih murah.
Hingga kini, di antara sekitar 10 ribu warga Desa Sidapurna, 50 persen masih menekuni usaha warteg di Jakarta. Pedagang yang tergolong sukses mendapat penghasilan kotor Rp 3 juta-Rp 5 juta per hari.
Dengan besarnya penghasilan itu, sebagian pedagang warteg bisa membangun rumah di kampung. Biaya yang dihabiskan rata-rata Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar.
''Sebanyak 500 di antara 2.000 rumah di Sidapurna adalah rumah mewah,'' terang Faizin.
Ketua Umum Pusat Koperasi Warung Tegal (Puskowarteg) Jaya Sastoro saat dihubungi menambahkan, pedagang warteg di Jakarta saat ini tertekan mahalnya harga-harga kebutuhan pokok setelah kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi pada 2014.
''Kami tidak bisa asal menaikkan harga menu. Sebab, pelanggan warteg itu rakyat kecil,'' jelasnya.
Sistem pengelolaan warteg juga termasuk unik. Ada yang setiap tiga bulan hingga empat bulan dikelola secara bergantian.
Hanya, yang mengelola tersebut masih ada hubungan keluarga. Sehingga, rezeki masih berputar di antara mereka.
Makanan yang ditawarkan cukup sederhana karena seperti masakan rumahan. Ada sayur lodeh, sup, tumis, tahu, tempe, telor goreng atau rebus dan juga ayam goreng.
Sementara, minumannya teh manis, es teh, maupun es jeruk paling banyak dijumpai. Belum lagi ada pisang goreng maupun tahu isi.
Selain mampu membangun rumah mewah, beberapa pemilik warteg di Jakarta bisa juga menjalankan ibadah haji. Namun, biasanya, mereka itu sudah melakoni bisnis tersebut sudah lama.
Mayoritas warga Jakarta yang memang berasal dari kampung merupakan satu alasan banyaknya pengunjung warteg. Sehingga, bisnis warteg dianggap sebuah hal yang menjanjikan untuk mengais rupiah.
Sayang, bisnis warteg belum merambah ke kota lain. Mereka masih berkutat di Jakarta.
Di ibu kota, jumlahnya bisa mencapai ribuan dan tersebar di berbagai pelosok. Bahkan, tak ada 100 meter, sudah berdiri warung sejenis.
Sementara, di kota besar lainnya seperti Surabaya (Jawa Timur), Medan (Sumatera Utara) maupun Makassar (Sulawesi Selatan) kurang berkembang.
http://www.jpnn.com/read/2015/07/29/...-Rumah-Mewah!-
Heboh Warteg: Pelayan Cantik Sasa Bisa Beli Tas Mahal
SENIN, 30 MARET 2015 | 05:53 WIB
Sasa Darfika, pelayan warteg yang cantik. facebook.com
TEMPO.CO, Majalengka - Menjadi pelayan dengan predikat cantik di warung Tegal (warteg) milik orang tuanya di sisi Jalan Parapatan Raya, Majalengka, Sasa Darfika, 21 tahun, punya hobi berbelanja. Sebulan dua kali, Sasa sanggup membeli barang seharga total Rp 1,5-2 juta lebih.
Menurut Sasa, ia suka belanja koleksi tas, sepatu, dan pakaian dari toko di mal Cirebon atau Tegal. Mereknya seperti Gosh, Prada, dan parfum Calvin Klein.
Bersama ayah atau ibunya yang membuka warteg sejak 1993, uang belanja barang itu disebutnya bonus dari hasil kerja melayani pembeli di warteg. "Mau punya itu setelah lihat di Instagram artis," kata Sasa, yang nge-fans kepada artis Pevita Pearce, beberapa waktu lalu.
Popularitas Sasa sebagai gadis pelayan cantik mendongkrak penghasilan warteg orang tuanya. "Sebulan ini omzet naik sekitar 30 persen," kata orang tua Sasa, Darpi. Warteg yang buka setiap hari selama 24 jam itu rata-rata melayani 300 orang lebih setiap hari.
Sejak lulus SMAN 5 Tegal, Jawa Tengah, pada 2012, Sasa memilih sekolah kebidanan atas saran kawannya yang anak bidan. Pilihan tersebut diambilnya setelah gagal lolos seleksi masuk perguruan tinggi negeri di kampus pendidikan guru di Solo dan Semarang. "Tadinya mau jadi guru bahasa Inggris atau geografi," kata Sasa.
Saat sekolah kebidanan dan praktek di sejumlah rumah sakit di luar kota, ia sering ketakutan saat bagian piket malam. Apalagi ketika harus ikut mengurus pasien yang meninggal. "Waktu membawa mayat ke ambulans, takutnya bangun lagi seperti di film horor," ujarnya.
Tiap kali ketakutan, ia tak berani pulang ke tempat kos, melainkan ke rumah keluarganya. Selain itu, ia merasa tak betah bekerja sebagai bidan di rumah sakit. Akhirnya, pada semester baru awal 2014, Sasa memutuskan berhenti kuliah dan menjadi pelayan di warteg orang tuanya.
Sampai saat ini, ia belum memutuskan untuk kuliah lagi. Ia lebih tertarik menjadi penjual barang di Internet.
http://nasional.tempo.co/read/news/2...beli-tas-mahal
Ini Dia Foto-foto Sasa Darfika, Gadis Cantik Si Pelayan Warteg
Senin, 12 Januari 2015 14:38
MAJALENGKA, TRIBUN - Nama Sasa Darfika (21) langsung terkenal begitu seseorang mengunggah fotonya ke sosial media. Sasa pun menjadi perhatian nitizen karena profesinya yang dianggap tidak lazim.
Sasa, gadis berparas cantik dengan kulit bersih dan tubuh tinggi ramping memilih menjadi pelayan warteg di Jalan Raya Parapatan, Desa Panjalin Kidul, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Majalengka. Profesi ini sudah dilakoninya setahun lebih.
Berikut aktivitas Sasa yang terekam kamera saat melayani pembeli di warteg tempatnya bekerja, Senin (12/1/2015). Tanpa canggung, dia melayani satu per satu pembeli yang datang ke wartegnya.
http://jabar.tribunnews.com/2015/01/...pelayan-warteg
---------------------------------------
Makanannya enak, murah-meriah, makanya orang seperti jokowi pun bisa menikmatinya. Mirip warung padang. Kenapa tidak coba dikemas untuk 'go Internasional' saja?
Rabu, 29 Juli 2015 , 06:14:00
Rumah mewah milik penjual warteg yang merantau di Jakarta. FOTO: RADAR TEGAL
Perkampungan Pengusaha Warteg Terlihat Mewah, Liputan6.com
Seorang warga melihat salah satu rumah megah milik pedagang warung Tegal (warteg) di Desa Sidokaton, Kecamatan Dukuhturi, Tegal, 22 Maret 2015. Rumah megah itu ditinggal pemiliknya merantau ke Jakarta dan hanya dihuni tiap menjelang Hari Raya Idul Fitri. TEMPO/Dinda Leo Listy
ORANG yang baru menginjak di Desa Sidakaton dan Desa Sidapurna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, pasti akan berdecak kagum. Di dua desa tersebut, hampir semua bangunan rumah warga megah dan mewah.
Halamannya pun luas dan dilengkapi taman. Sayangnya, rumah itu kerap kosong dan hanya dihuni orang tua yang sudah berumur. Ya, kebanyakan rumah mewah itu milik para pedagang warteg yang merantau di kota-kota besar.
''Ramainya kalau Lebaran saja. Sekarang sudah sepi lagi,'' kata Faizin, salah seorang pedagang warteg, kemarin.
Kepala Desa Sidapurna, Kecamatan Dukuhturi, itu menuturkan, selama ditinggal merantau, rumah-rumah mewah tersebut hanya dihuni orang tua atau saudara si empunya rumah. Tidak sedikit pula rumah mewah yang dibiarkan kosong hingga rumput liar tumbuh subur di halamannya.
''Sebagian kecil sertifikat rumah mewah itu dijaminkan untuk pinjaman di bank,'' ujar Faizin.
Menurut dia, sertifikat rumah-rumah itu biasanya dijadikan jaminan di bank karena kondisi pedagang warteg sedang paceklik. Kondisi itu diawali dari harga sewa bangunan untuk warteg di Jakarta yang mencapai Rp 25 juta-Rp 30 juta per tahun.
Selain harga sewa bangunan yang terus melambung, pedagang warteg kewalahan mencari karyawan (pembantu masak). ''Sidakaton dan Sidapurna adalah dua desa yang bergandengan dan dikenal sebagai kampung warteg,'' ucapnya.
Sejak 1970-an, lanjut Faizin, warga di dua desa itu merantau ke Jakarta untuk membuka warung kecil-kecilan. Saat itu, warga perantau hanya menjual makanan kecil dan gorengan.
''Belum menyediakan nasi lengkap dengan sayur dan lauknya,'' ujar Faizin.
Warteg, ungkap dia, mengalami kejayaan pada 1980-1990. Sebab, harga sewa warung dan upah karyawan saat itu masih murah.
Hingga kini, di antara sekitar 10 ribu warga Desa Sidapurna, 50 persen masih menekuni usaha warteg di Jakarta. Pedagang yang tergolong sukses mendapat penghasilan kotor Rp 3 juta-Rp 5 juta per hari.
Dengan besarnya penghasilan itu, sebagian pedagang warteg bisa membangun rumah di kampung. Biaya yang dihabiskan rata-rata Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar.
''Sebanyak 500 di antara 2.000 rumah di Sidapurna adalah rumah mewah,'' terang Faizin.
Ketua Umum Pusat Koperasi Warung Tegal (Puskowarteg) Jaya Sastoro saat dihubungi menambahkan, pedagang warteg di Jakarta saat ini tertekan mahalnya harga-harga kebutuhan pokok setelah kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi pada 2014.
''Kami tidak bisa asal menaikkan harga menu. Sebab, pelanggan warteg itu rakyat kecil,'' jelasnya.
Sistem pengelolaan warteg juga termasuk unik. Ada yang setiap tiga bulan hingga empat bulan dikelola secara bergantian.
Hanya, yang mengelola tersebut masih ada hubungan keluarga. Sehingga, rezeki masih berputar di antara mereka.
Makanan yang ditawarkan cukup sederhana karena seperti masakan rumahan. Ada sayur lodeh, sup, tumis, tahu, tempe, telor goreng atau rebus dan juga ayam goreng.
Sementara, minumannya teh manis, es teh, maupun es jeruk paling banyak dijumpai. Belum lagi ada pisang goreng maupun tahu isi.
Selain mampu membangun rumah mewah, beberapa pemilik warteg di Jakarta bisa juga menjalankan ibadah haji. Namun, biasanya, mereka itu sudah melakoni bisnis tersebut sudah lama.
Mayoritas warga Jakarta yang memang berasal dari kampung merupakan satu alasan banyaknya pengunjung warteg. Sehingga, bisnis warteg dianggap sebuah hal yang menjanjikan untuk mengais rupiah.
Sayang, bisnis warteg belum merambah ke kota lain. Mereka masih berkutat di Jakarta.
Di ibu kota, jumlahnya bisa mencapai ribuan dan tersebar di berbagai pelosok. Bahkan, tak ada 100 meter, sudah berdiri warung sejenis.
Sementara, di kota besar lainnya seperti Surabaya (Jawa Timur), Medan (Sumatera Utara) maupun Makassar (Sulawesi Selatan) kurang berkembang.
http://www.jpnn.com/read/2015/07/29/...-Rumah-Mewah!-
Heboh Warteg: Pelayan Cantik Sasa Bisa Beli Tas Mahal
SENIN, 30 MARET 2015 | 05:53 WIB
Sasa Darfika, pelayan warteg yang cantik. facebook.com
TEMPO.CO, Majalengka - Menjadi pelayan dengan predikat cantik di warung Tegal (warteg) milik orang tuanya di sisi Jalan Parapatan Raya, Majalengka, Sasa Darfika, 21 tahun, punya hobi berbelanja. Sebulan dua kali, Sasa sanggup membeli barang seharga total Rp 1,5-2 juta lebih.
Menurut Sasa, ia suka belanja koleksi tas, sepatu, dan pakaian dari toko di mal Cirebon atau Tegal. Mereknya seperti Gosh, Prada, dan parfum Calvin Klein.
Bersama ayah atau ibunya yang membuka warteg sejak 1993, uang belanja barang itu disebutnya bonus dari hasil kerja melayani pembeli di warteg. "Mau punya itu setelah lihat di Instagram artis," kata Sasa, yang nge-fans kepada artis Pevita Pearce, beberapa waktu lalu.
Popularitas Sasa sebagai gadis pelayan cantik mendongkrak penghasilan warteg orang tuanya. "Sebulan ini omzet naik sekitar 30 persen," kata orang tua Sasa, Darpi. Warteg yang buka setiap hari selama 24 jam itu rata-rata melayani 300 orang lebih setiap hari.
Sejak lulus SMAN 5 Tegal, Jawa Tengah, pada 2012, Sasa memilih sekolah kebidanan atas saran kawannya yang anak bidan. Pilihan tersebut diambilnya setelah gagal lolos seleksi masuk perguruan tinggi negeri di kampus pendidikan guru di Solo dan Semarang. "Tadinya mau jadi guru bahasa Inggris atau geografi," kata Sasa.
Saat sekolah kebidanan dan praktek di sejumlah rumah sakit di luar kota, ia sering ketakutan saat bagian piket malam. Apalagi ketika harus ikut mengurus pasien yang meninggal. "Waktu membawa mayat ke ambulans, takutnya bangun lagi seperti di film horor," ujarnya.
Tiap kali ketakutan, ia tak berani pulang ke tempat kos, melainkan ke rumah keluarganya. Selain itu, ia merasa tak betah bekerja sebagai bidan di rumah sakit. Akhirnya, pada semester baru awal 2014, Sasa memutuskan berhenti kuliah dan menjadi pelayan di warteg orang tuanya.
Sampai saat ini, ia belum memutuskan untuk kuliah lagi. Ia lebih tertarik menjadi penjual barang di Internet.
http://nasional.tempo.co/read/news/2...beli-tas-mahal
Ini Dia Foto-foto Sasa Darfika, Gadis Cantik Si Pelayan Warteg
Senin, 12 Januari 2015 14:38
MAJALENGKA, TRIBUN - Nama Sasa Darfika (21) langsung terkenal begitu seseorang mengunggah fotonya ke sosial media. Sasa pun menjadi perhatian nitizen karena profesinya yang dianggap tidak lazim.
Sasa, gadis berparas cantik dengan kulit bersih dan tubuh tinggi ramping memilih menjadi pelayan warteg di Jalan Raya Parapatan, Desa Panjalin Kidul, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Majalengka. Profesi ini sudah dilakoninya setahun lebih.
Berikut aktivitas Sasa yang terekam kamera saat melayani pembeli di warteg tempatnya bekerja, Senin (12/1/2015). Tanpa canggung, dia melayani satu per satu pembeli yang datang ke wartegnya.
http://jabar.tribunnews.com/2015/01/...pelayan-warteg
---------------------------------------
Makanannya enak, murah-meriah, makanya orang seperti jokowi pun bisa menikmatinya. Mirip warung padang. Kenapa tidak coba dikemas untuk 'go Internasional' saja?
Baguslah asal gak korupsi ama ngemis aja
pedagang warteg kena pajak penghasilan g sih?? serius nanya..
btw pelayan wartegnye cakep...
btw pelayan wartegnye cakep...
si eneng cantik sih tp setelah liat hobinya belanja ane angkat tangan
Food rakyat kecil emang gak ada matinya
Bisa bersih dapat 25 juta per bulan..wajar bangun rumah di tegal gede yg harga tanah gak mahal2 amir keknya
All hail pengusaha warteg
Bisa bersih dapat 25 juta per bulan..wajar bangun rumah di tegal gede yg harga tanah gak mahal2 amir keknya
All hail pengusaha warteg
neng sasa
non sasa aku padamu
lebih terhormat dari pada fe en esh yg ngandelin tunjangan
Usaha kuliner memang untungnya besar.
tapi jangan dilihat untungnya aja.
effort dan tenaga yang dibutuhkan gak kalah besar. Apalagi warteg yg menyediakan sekian banyak jenis makanan.
yang pasti sangat melelahkan.
jadi ya gak heran kalau laris bisa jadi kaya
tapi jangan dilihat untungnya aja.
effort dan tenaga yang dibutuhkan gak kalah besar. Apalagi warteg yg menyediakan sekian banyak jenis makanan.
yang pasti sangat melelahkan.
jadi ya gak heran kalau laris bisa jadi kaya
Wihh enak jg ya bisnis makanan.
Quote:Original Posted By tikripiw ►
pedagang warteg kena pajak penghasilan g sih?? serius nanya..
btw pelayan wartegnye cakep...
Engga kena gan cmiiw
Jadi bisa dibilang 100% keuntungan bersihnya langsung masuk kantong pengelola.
pedagang warteg kena pajak penghasilan g sih?? serius nanya..
btw pelayan wartegnye cakep...
Engga kena gan cmiiw
Jadi bisa dibilang 100% keuntungan bersihnya langsung masuk kantong pengelola.
warteg yang ada di jakarta, jarang banget yang menu masakannya enak, kebanyakan berminyak dan udah diangetin berkali kali
Bisnis yg ga ad matinya dijakarta ya bengkel ma usaha kuliner baik warteg maupun warten..
Quote:Original Posted By jaja.mihardja ►
warteg yang ada di jakarta, jarang banget yang menu masakannya enak, kebanyakan berminyak dan udah diangetin berkali kali
ente klu mo beli warteg pagi2 jam 7/8 pagi, itu penjualnya biasa lg masak,begitu matang langsung dihidangkan
warteg yang ada di jakarta, jarang banget yang menu masakannya enak, kebanyakan berminyak dan udah diangetin berkali kali
ente klu mo beli warteg pagi2 jam 7/8 pagi, itu penjualnya biasa lg masak,begitu matang langsung dihidangkan
kalau pelayan warteg seperti neng sasa mah masakan gak enak gak jadi masalah.
Seperti yg gw tulis tempo hari di kaskus. Ahok bakal kesusahan minta pedagang dari daerah ganti alamat dan ngasih surat pindah. Pindah alamat bagi pedagang itu sama saja ngebunuh usaha/bisnis mereka di Jakarta. Bukannya mengurangi gepeng (gelandang dan pengemis) yg ada malah nambah pengemis klo masih maksa pedagang itu pindah alamat dan nagih2 surat pindah. Maaf yah buat panastak klo junjungannya saya kritik.
Btw mengenai pedagang warteg, ada warteg di Jakarta Pusat yg saya tahu jadi nasabah premium di Bank BUMN, sering terlihat jadi incaran orang Asuransi atau Investasi2 yg ngga jelas. Margin usaha di bidang makanan ini lumayan besar, cuma sayangnya klo saya lihat di Jakarta ini terlalu banyak pungutan dan tagihan ngga jelas plus biaya sewa tempat usaha yg kenaikkanya lumayan menyesakkan ketika konsumen yg switching di industri makanan ini cukup besar. Makanya biasanya usaha makanan ini klo 6 bulan di awal pendirian ada trend sangat bagus jangan senang dulu, karena banyak juga yg cepat bangkrutnya.
Quote:Original Posted By zitizen4r ►
Lihat Nih, Megahnya Kampung Pedagang Warteg di Tegal, Semua Rumah Mewah!
Rabu, 29 Juli 2015 , 06:14:00
Rumah mewah milik penjual warteg yang merantau di Jakarta. FOTO: RADAR TEGAL
Perkampungan Pengusaha Warteg Terlihat Mewah, Liputan6.com
Seorang warga melihat salah satu rumah megah milik pedagang warung Tegal (warteg) di Desa Sidokaton, Kecamatan Dukuhturi, Tegal, 22 Maret 2015. Rumah megah itu ditinggal pemiliknya merantau ke Jakarta dan hanya dihuni tiap menjelang Hari Raya Idul Fitri. TEMPO/Dinda Leo Listy
ORANG yang baru menginjak di Desa Sidakaton dan Desa Sidapurna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, pasti akan berdecak kagum. Di dua desa tersebut, hampir semua bangunan rumah warga megah dan mewah.
Halamannya pun luas dan dilengkapi taman. Sayangnya, rumah itu kerap kosong dan hanya dihuni orang tua yang sudah berumur. Ya, kebanyakan rumah mewah itu milik para pedagang warteg yang merantau di kota-kota besar.
''Ramainya kalau Lebaran saja. Sekarang sudah sepi lagi,'' kata Faizin, salah seorang pedagang warteg, kemarin.
Kepala Desa Sidapurna, Kecamatan Dukuhturi, itu menuturkan, selama ditinggal merantau, rumah-rumah mewah tersebut hanya dihuni orang tua atau saudara si empunya rumah. Tidak sedikit pula rumah mewah yang dibiarkan kosong hingga rumput liar tumbuh subur di halamannya.
''Sebagian kecil sertifikat rumah mewah itu dijaminkan untuk pinjaman di bank,'' ujar Faizin.
Menurut dia, sertifikat rumah-rumah itu biasanya dijadikan jaminan di bank karena kondisi pedagang warteg sedang paceklik. Kondisi itu diawali dari harga sewa bangunan untuk warteg di Jakarta yang mencapai Rp 25 juta-Rp 30 juta per tahun.
Selain harga sewa bangunan yang terus melambung, pedagang warteg kewalahan mencari karyawan (pembantu masak). ''Sidakaton dan Sidapurna adalah dua desa yang bergandengan dan dikenal sebagai kampung warteg,'' ucapnya.
Sejak 1970-an, lanjut Faizin, warga di dua desa itu merantau ke Jakarta untuk membuka warung kecil-kecilan. Saat itu, warga perantau hanya menjual makanan kecil dan gorengan.
''Belum menyediakan nasi lengkap dengan sayur dan lauknya,'' ujar Faizin.
Warteg, ungkap dia, mengalami kejayaan pada 1980-1990. Sebab, harga sewa warung dan upah karyawan saat itu masih murah.
Hingga kini, di antara sekitar 10 ribu warga Desa Sidapurna, 50 persen masih menekuni usaha warteg di Jakarta. Pedagang yang tergolong sukses mendapat penghasilan kotor Rp 3 juta-Rp 5 juta per hari.
Dengan besarnya penghasilan itu, sebagian pedagang warteg bisa membangun rumah di kampung. Biaya yang dihabiskan rata-rata Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar.
''Sebanyak 500 di antara 2.000 rumah di Sidapurna adalah rumah mewah,'' terang Faizin.
Ketua Umum Pusat Koperasi Warung Tegal (Puskowarteg) Jaya Sastoro saat dihubungi menambahkan, pedagang warteg di Jakarta saat ini tertekan mahalnya harga-harga kebutuhan pokok setelah kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi pada 2014.
''Kami tidak bisa asal menaikkan harga menu. Sebab, pelanggan warteg itu rakyat kecil,'' jelasnya.
Sistem pengelolaan warteg juga termasuk unik. Ada yang setiap tiga bulan hingga empat bulan dikelola secara bergantian.
Hanya, yang mengelola tersebut masih ada hubungan keluarga. Sehingga, rezeki masih berputar di antara mereka.
Makanan yang ditawarkan cukup sederhana karena seperti masakan rumahan. Ada sayur lodeh, sup, tumis, tahu, tempe, telor goreng atau rebus dan juga ayam goreng.
Sementara, minumannya teh manis, es teh, maupun es jeruk paling banyak dijumpai. Belum lagi ada pisang goreng maupun tahu isi.
Selain mampu membangun rumah mewah, beberapa pemilik warteg di Jakarta bisa juga menjalankan ibadah haji. Namun, biasanya, mereka itu sudah melakoni bisnis tersebut sudah lama.
Mayoritas warga Jakarta yang memang berasal dari kampung merupakan satu alasan banyaknya pengunjung warteg. Sehingga, bisnis warteg dianggap sebuah hal yang menjanjikan untuk mengais rupiah.
Sayang, bisnis warteg belum merambah ke kota lain. Mereka masih berkutat di Jakarta.
Di ibu kota, jumlahnya bisa mencapai ribuan dan tersebar di berbagai pelosok. Bahkan, tak ada 100 meter, sudah berdiri warung sejenis.
Sementara, di kota besar lainnya seperti Surabaya (Jawa Timur), Medan (Sumatera Utara) maupun Makassar (Sulawesi Selatan) kurang berkembang.
http://www.jpnn.com/read/2015/07/29/...-Rumah-Mewah!-
Btw mengenai pedagang warteg, ada warteg di Jakarta Pusat yg saya tahu jadi nasabah premium di Bank BUMN, sering terlihat jadi incaran orang Asuransi atau Investasi2 yg ngga jelas. Margin usaha di bidang makanan ini lumayan besar, cuma sayangnya klo saya lihat di Jakarta ini terlalu banyak pungutan dan tagihan ngga jelas plus biaya sewa tempat usaha yg kenaikkanya lumayan menyesakkan ketika konsumen yg switching di industri makanan ini cukup besar. Makanya biasanya usaha makanan ini klo 6 bulan di awal pendirian ada trend sangat bagus jangan senang dulu, karena banyak juga yg cepat bangkrutnya.
Quote:Original Posted By zitizen4r ►
Lihat Nih, Megahnya Kampung Pedagang Warteg di Tegal, Semua Rumah Mewah!
Rabu, 29 Juli 2015 , 06:14:00
Rumah mewah milik penjual warteg yang merantau di Jakarta. FOTO: RADAR TEGAL
Perkampungan Pengusaha Warteg Terlihat Mewah, Liputan6.com
Seorang warga melihat salah satu rumah megah milik pedagang warung Tegal (warteg) di Desa Sidokaton, Kecamatan Dukuhturi, Tegal, 22 Maret 2015. Rumah megah itu ditinggal pemiliknya merantau ke Jakarta dan hanya dihuni tiap menjelang Hari Raya Idul Fitri. TEMPO/Dinda Leo Listy
ORANG yang baru menginjak di Desa Sidakaton dan Desa Sidapurna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, pasti akan berdecak kagum. Di dua desa tersebut, hampir semua bangunan rumah warga megah dan mewah.
Halamannya pun luas dan dilengkapi taman. Sayangnya, rumah itu kerap kosong dan hanya dihuni orang tua yang sudah berumur. Ya, kebanyakan rumah mewah itu milik para pedagang warteg yang merantau di kota-kota besar.
''Ramainya kalau Lebaran saja. Sekarang sudah sepi lagi,'' kata Faizin, salah seorang pedagang warteg, kemarin.
Kepala Desa Sidapurna, Kecamatan Dukuhturi, itu menuturkan, selama ditinggal merantau, rumah-rumah mewah tersebut hanya dihuni orang tua atau saudara si empunya rumah. Tidak sedikit pula rumah mewah yang dibiarkan kosong hingga rumput liar tumbuh subur di halamannya.
''Sebagian kecil sertifikat rumah mewah itu dijaminkan untuk pinjaman di bank,'' ujar Faizin.
Menurut dia, sertifikat rumah-rumah itu biasanya dijadikan jaminan di bank karena kondisi pedagang warteg sedang paceklik. Kondisi itu diawali dari harga sewa bangunan untuk warteg di Jakarta yang mencapai Rp 25 juta-Rp 30 juta per tahun.
Selain harga sewa bangunan yang terus melambung, pedagang warteg kewalahan mencari karyawan (pembantu masak). ''Sidakaton dan Sidapurna adalah dua desa yang bergandengan dan dikenal sebagai kampung warteg,'' ucapnya.
Sejak 1970-an, lanjut Faizin, warga di dua desa itu merantau ke Jakarta untuk membuka warung kecil-kecilan. Saat itu, warga perantau hanya menjual makanan kecil dan gorengan.
''Belum menyediakan nasi lengkap dengan sayur dan lauknya,'' ujar Faizin.
Warteg, ungkap dia, mengalami kejayaan pada 1980-1990. Sebab, harga sewa warung dan upah karyawan saat itu masih murah.
Hingga kini, di antara sekitar 10 ribu warga Desa Sidapurna, 50 persen masih menekuni usaha warteg di Jakarta. Pedagang yang tergolong sukses mendapat penghasilan kotor Rp 3 juta-Rp 5 juta per hari.
Dengan besarnya penghasilan itu, sebagian pedagang warteg bisa membangun rumah di kampung. Biaya yang dihabiskan rata-rata Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar.
''Sebanyak 500 di antara 2.000 rumah di Sidapurna adalah rumah mewah,'' terang Faizin.
Ketua Umum Pusat Koperasi Warung Tegal (Puskowarteg) Jaya Sastoro saat dihubungi menambahkan, pedagang warteg di Jakarta saat ini tertekan mahalnya harga-harga kebutuhan pokok setelah kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi pada 2014.
''Kami tidak bisa asal menaikkan harga menu. Sebab, pelanggan warteg itu rakyat kecil,'' jelasnya.
Sistem pengelolaan warteg juga termasuk unik. Ada yang setiap tiga bulan hingga empat bulan dikelola secara bergantian.
Hanya, yang mengelola tersebut masih ada hubungan keluarga. Sehingga, rezeki masih berputar di antara mereka.
Makanan yang ditawarkan cukup sederhana karena seperti masakan rumahan. Ada sayur lodeh, sup, tumis, tahu, tempe, telor goreng atau rebus dan juga ayam goreng.
Sementara, minumannya teh manis, es teh, maupun es jeruk paling banyak dijumpai. Belum lagi ada pisang goreng maupun tahu isi.
Selain mampu membangun rumah mewah, beberapa pemilik warteg di Jakarta bisa juga menjalankan ibadah haji. Namun, biasanya, mereka itu sudah melakoni bisnis tersebut sudah lama.
Mayoritas warga Jakarta yang memang berasal dari kampung merupakan satu alasan banyaknya pengunjung warteg. Sehingga, bisnis warteg dianggap sebuah hal yang menjanjikan untuk mengais rupiah.
Sayang, bisnis warteg belum merambah ke kota lain. Mereka masih berkutat di Jakarta.
Di ibu kota, jumlahnya bisa mencapai ribuan dan tersebar di berbagai pelosok. Bahkan, tak ada 100 meter, sudah berdiri warung sejenis.
Sementara, di kota besar lainnya seperti Surabaya (Jawa Timur), Medan (Sumatera Utara) maupun Makassar (Sulawesi Selatan) kurang berkembang.
http://www.jpnn.com/read/2015/07/29/...-Rumah-Mewah!-
Wajar lah kerja keras, emang kita tiap hari ngaskus mulu buat kejar postingan
Quote:Original Posted By tikripiw ►
pedagang warteg kena pajak penghasilan g sih?? serius nanya..
btw pelayan wartegnye cakep...
bbrp taun yg lalu pernah diwacanakan gan. Namun banyak yg kontra, karena itu hajat hidup org banyak, harga2 warteg bisa naik katanya D
Wajar sih kata ane klo rumah nya gede, ngurus warteg itu cape bray, siang malam kerjanya
pedagang warteg kena pajak penghasilan g sih?? serius nanya..
btw pelayan wartegnye cakep...
bbrp taun yg lalu pernah diwacanakan gan. Namun banyak yg kontra, karena itu hajat hidup org banyak, harga2 warteg bisa naik katanya D
Wajar sih kata ane klo rumah nya gede, ngurus warteg itu cape bray, siang malam kerjanya
sayang jg ya kalo ditempatin cuma pas lebaran .
Sayang amat tuh rumah jadi kosong
Via: Kaskus.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar