Quote:
Liga Primer Inggris atau biasa dikenal Premier League merupakan salah satu liga sepakbola yang paling banyak digemari dan disaksikan oleh pecinta bola di dunia. Tak heran jika banyak pemain bintang mencoba peruntungan karirnya di Tanah Britania tersebut. Namun tak jarang pula banyak pemain hebat namun memiliki harga pembelian yang terhitung murah. Berikut 11 Pemain Dengan Pembelian Termurah di Premier League
Quote:Quote:1. Joe Hart (Man. City) : £400.000
Spoiler for 1:
Sebuah ironi yang hebat jika menyadari fakta bahwa meskipun menghabiskan begitu banyak uang untuk membeli pemain, salah satu pembelian terbaik Manchester City hanyalah berharga £100.000 saja. Dibeli dari Shrewsbury Town di tahun 2006 silam, Hart baru berhasil menembus tim utama The Citizen empat tahun kemudian, tapi ia tidak pernah melihat ke belakang lagi semenjak saat itu. Ia mengukuhkan diri sebagai salah satu penjaga gawang terbaik dengan tiga gelar Golden Glove secara berurutan dari tahun 2011 hingga 2013, dan sudah memenangi dua gelar Liga Premier plus satu Piala FA hingga sekarang. Kiper dengan kepemimpinan yang bagus ditambah refleks luar biasa, pemain berusia 28 Tahun ini sekarang menjadi kiper no. 1 tim nasional Inggris dan bisa dibilang sebagai salah satu yang terbaik di Dunia untuk posisinya. Ia akan menjadi satu bagian krusial bagi negaranya saat bertarung di ajang Piala Eropa bulan Juni tahun ini.
Quote:Quote:2. Joel Ward (Crystal Palace) : £400.000
Spoiler for 2:
Mudah untuk melupakan penampilan bagus seorang Ward, terutama fakta bahwa ia tidak bermain untuk salah satu klub besar. Tapi anda tahu bahwa anda melakukan sesuatu yang benar di lapangan saat para fans meneriakkan dukungan untuk masuk ke skuat Inggris. Dalam beberapa musim terakhir, Ward sudah menampilkan aksi-aksi yang bagus untuk menegaskan statusnya sebagai salah satu pemain belakang paling konsisten di Liga Premier saat ini. Tidak hanya dalam hal bertahan, pemain Crystal Palace ini juga sangat baik saat membantu serangan timnya melalui overlapping run yang merepotkan lawan. Dan aset terbesar pemain berusia 26 tahun ini adalah kemampuannya untuk muncul dan menciptakan gol-gol penting. Yang terbaru, Ward menciptakan gol ke gawang Southampton untuk memastikan satu tempat di babak keempat FA Cup untuk The Eagles. Dibeli dengan harga hanya £400.000 dari Portsmouth, Palace jelas mendapatkan keuntungan yang besar dalam transfer dirinya.
Quote:Quote:3. Ashley Williams (Swansea City) : £400.000
Spoiler for 3:
Williams sempat menjadi pemain termahal Swansea saat didatangkan hanya dengan harga £400.000 dari Stockport County pada tahun 2008 silam. Walaupun saat itu angka tersebut tampak besar untuk tim selevel Swansea, mereka pada akhirnya merasakan manfaat yang sangat besar dalam beberapa tahun belakangan dengan Williams menjadi salah satu pemain kunci untuk menembus kasta tertinggi di Inggris. Seorang bek yang tangguh dan tanpa kompromi, pemain berusia 31 tahun ini juga membuktikan diri sebagai pemimpin yang baik di lapangan dengan menjadi kapten untuk Swansea dan Wales. Penampilannya jelas mengundang perhatian klub-klub lain, Liverpool dan Arsenal menjadi beberapaa nama yang sempat disebut-sebut tertarik mendatangkannya. Jika bisa tampil bagus di Piala Eropa nanti, harganya bisa jadi akan kembali melambung.
Quote:Quote:4. Wes Morgan (Leicester City): £1 Juta
Spoiler for 4:
Jika melihat bagaimana aksi Morgan di lapangan membela Leicester saat ini, sulit membayangkan bahwa pemain belakang ini baru membuat debutnya di Liga Premier dua tahun yang lalu –saat berusia 30 Tahun. Menghabiskan 10 tahun di kasta bawah Inggris bersama Nottingham Forest, Morgan akhirnya mendapatkan kesempatan emas yang ia butuhkan saat The Foxes datang dengan tawaran £1 juta di tahun 2012. Setangguh batu karang di lini belakang, pengaruh Morgan nyaris terasa secara instan ketika ia membantu Leicester lolos ke play off Championship di musim perdana – saat mereka harus rela tumbang di semifinal. Setahun kemudian, Foxes kembali lagi ke kasta teratas setelah absen selama 10 tahun. Dan sekarang, secara luara biasa, mereka masih berpeluang besar untuk meraih gelar yang tidak terduga.
Quote:Quote:5. Charlie Daniels (Bournemouth): £198.000
Spoiler for 5:
Daniels memulai karir profesionalnya di Tottenham pada tahun 2005, tapi ia tidak pernah bermain di kasta tertinggi sebelum musim ini, dan lebih banyak berkeliaran di kasta bawah dengan tim-tim semacam Gillingham dan Leyton Orient.
Meski begitu, bek kiri dengan kemampuan menyerang yang oke ini tidak terlihat canggung di musim Liga Premier perdananya – sejauh ini, pemain 29 tahun ini sudah menciptakan dua gol dan juga empat assist.
Daniels hanya berharga £198.000 dari Leyton Orient dan ia saat ini merupakan salah satu nama utama di tim sang manajer, Eddie Howe. Tanpa dirinya, gaya bermain menyerang cepat yang diandalkan Bournemouth tidak akan berjalan dengan baik. Jikapun The Cherries harus rela kembali turun ke Championship, rasanya peminat pemain ini tidak akan sedikit di musim mendatang.
Quote:Quote:6. James Milner (Liverpool): Gratis
Spoiler for 6:
Fans Liverpool mungkin akan sedikit mengernyitkan dahi saat melihat ada nama Milner di daftar ini, karena jumlah gaji besar yang dipercaya mencapai angka £150.000 per pekan yang diterimanya. Tapi tetap saja, keputusan untuk menggaet Milner dari Manchester City tanpa keluar uang sepeser pun jelas sangat bagus secara bisnis.
Meski awal karirnya di Anfield tidak begitu menjanjikan, ia akhirnya mulai memberikan kontribusi penting belakangan. Pemain Inggris yang selalu bisa diandalkan ini sudah mencatat 30 penampilan sejauh ini, dan catatan empat gol dan enam assist dirinya mungkin tidak bisa dibilang spektakuler –tapi cukup solid.
Milner baru saja berumur 30 tahun dan masih punya banya hal untuk diberikan ke klubnya, meski debutnya di Leeds tercipta ketika ia masih berusia 16 tahun. Manajernya sekarang, Jurgen Klopp, terlihat jelas mengagumi sang pemain. Dan ia sepertinya masih akan terus memiliki peran di untuk The Reds selama beberapa waktu ke depan.
Quote:Quote:7. Steven Davis (Southampton): £800.000
Spoiler for 7:
Southampton melakukan salah satu transfer murah terbaik saat berhasil mendapatkan Davis di tahun 2012 silam. Kapten Irlandia Utara ini sudah menghabiskan lebih dari empat tahun bersama Rangers di Liga Premier Skotlandia dan menandatangani kontrak jangka panjang dengan klub ini pada tahun 2011.
Klub Glasgow ini kemudian mengalami masalah ekonomi hanya beberapa bulan kemudian dan membuka pintu keluar untuk Davis dan The Saints dengan cepat mengamankan tanda tangannya.
Ia secara rutin menunjukkan kemampuan memimpinnya di lapangan, salah satunya ketika secara publik menegaskan bahwa para pemain lah yang layak disalahkan ketika dihancurkan Liverpool 1-6 di League Cup pada bulan Desember silam. Tapi The Saints kini sudah kembali ke jalur yang benar dan duduk di posisi 6 klasemen EPL sementara. Hanya satu poin di belakang Manchester United.
Quote:Quote:8. Matt Ritchie (Bournemouth): £400.000
Spoiler for 8:
Sudah menjadi sebuah fakta yang harus bisa diterima bahwa klub dengan posisi seperti Bournemouth yang harus bertarung dengan tim-tim raksasa di Liga Teratas Inggris wajib menunjukkan kemampuan bisnis yang efektif saat menyusun skuat mereka.
Dalam kasus Ritchie, mereka melakukannya dengan sangat baik. Pemain asal Skotlandia ini adalah produk asli akademi Portsmouth dan didatangkan ke The Cherries pada tahun 2013, sukses membantu mereka memenangi promosi ke Liga Premier dua tahun kemudian.
Salah satu favorit para fans di Vitality Stadium, ia dikabarkan membuat klub-klub semacam Everton, West Brom, dan bahan Manchester United tertarik di bursa transfer bulan Januari silam. Jika transfer seperti ini benar-benar terjadi, maka jumlah yang Bournemouth bayarkan untuk Swindon ketika itu tidak akan ada apa-apanya.
Quote:Quote:9. Riyad Mahrez (Leicester City): £400.000
Spoiler for 9:
Ketika Mahrez memutuskan untuk meninggalkan klub Ligue 2 Perancis, Le Havre, untuk bergabung dengan Leicester di bulan Januari 2014 silam, ia dianggap tidak cukup kuat untuk menghadapi tantangan fisik yang berat di Inggris. Dua tahun kemudian, transfer ini terlihat sebagai sebuah keputusan yang luar biasa saat klub-klub seperti Barcelona dan Real Madrid dilaporkan mengantri untuk mencoba mendapatkannya.
The Foxes sudah mencoba untuk menegosiasikan kembali kontraknya pada musim panas silam, namun tentu saja tawaran ini akan jauh berbeda dengan uang yang bisa ia dapatkan di klub-klub besar lainnya. Dan walaupun akan sangat sayang jika Leicester harus kehilangan pemain yang mengejutkan semua orang di Liga Premier musim ini dan membawa timnya duduk di puncak klasemen, mereka bisa dipastikan akan mendapatkan uang yang besar jika Mahrez benar-benar pergi di musim panas nanti.
Quote:Quote:10. Jamie Vardy (Leicester City): £1 Juta
Spoiler for 10:
Vardy adalah salah satu sensasi terbesar musim ini. Sebagai satu belahan dari duo spektakuler The Foxes bersama Mahrez, Vardy berhasil meninggalkan para kritikus yang menunggu penampilan gemilangnya mendadak berhenti.
Hype di sekitar Vardy menyentuh level yang amat sangat tidak terduga saat ia berhasil menciptakan gol di 11 pertandingan secara berurutan antara bulan Agustus hingga November tahun lalu, memecahkan rekor Ruud van Nistelrooy di Liga Premier. Striker kelahiran Sheffield ini, yang berusia 29 tahun pada bulan Januari kemarin, menjadi sebuah sensasi instan – catatan luar biasa untuk seorang pemain yang sempat menghabiskan waktu bekerja di pabrik setelah dilepas Sheffield Wednesday ketika masih remaja.
Ini adalah sebuah hasil untuk kerja keras, Vardy harus menghadapi perjuangan luar biasa dari kasta bawah hingga kini berada di yang paling atas di Inggris. Ia sekarang sudah mencatatkan penampilan untuk timnas Inggris dan terlihat jelas berada dalam rencana besar Roy Hodgson di Piala Eropa mendatang.
Quote:Quote:11. Troy Deeney (Watford): £500.000
Spoiler for 11:
Beberapa pemain menjadi kapten karena posisi tersebut “terpaksa” diberikan untuk dirinya. Saat yang lainnya sudah terlihat memiliki skill kepemimpinan yang bagus sejak pertama kali datang. Deeney terlihat jelas berada di kategori yang kedua.
Ia adalah kapten tim akademi Aston Villa, sebelum sifat buruk – yang diakuinya sendiri –membuat dirinya terpaksa harus berjalan lebih jauh untuk mencapai puncak. Striker ini berstatus kapten tim ketika membawa Watford promosi ke Liga Premier pada musim 2014/15 silam. Banyak yang memprediksi The Hornets akan langsung kembali ke rumah mereka di liga bawah, tapi dengan Deeney sebagai pemimpin di lapangan, mereka sukses mengejutkan banyak pihak dengan menempati posisi cukup jauh di atas zona degradasi.
Didapatkan dengan harga yang cukup murah dari Walsall, £500.000 ia masih mampu tampil brilian di level tertinggi, menciptakan dua gol di kandang lawan pada pertandingan terakhir mereka: kemenangan 2-1 dari Crystal Palace. Hasil yang membuat timnya kini masih menempel erat di 10 besar klasemen.
Quote:Itulah beberapa pemain dengan harga murah memiliki kualitas yang tidak dapat dipandang remeh dengan pemain top lainnya di Liga Primer Inggris
Quote:FourFourTwo Indonesia
* Klik cendol untuk memberi TS cendol
pertamax diamankan
paling malesin banget kalo udah ngeluarin duit gede tapi malah salah beli
Ibarat beli online tapi salah ukuran dan ga bisa dituker gan
Ibarat beli online tapi salah ukuran dan ga bisa dituker gan
John Stones juga gan
kalo yg agak tua ada Schmeichel, Anelka, Solksjaer juga gan
anyway, nice thread
kalo yg agak tua ada Schmeichel, Anelka, Solksjaer juga gan
anyway, nice thread
Jamie vardy gan ! Dari pemain biasa menjadi pemain top di epl !
pasti scoutnya pada maen FM gan
dapet durian runtuh gan namanya
joe hart murah banget gan
James Milner...
walaupun permainannya gak bgitu Fenomenal, IMHO
tapi pengaruhnya dalem team... perlu diperhitungkan bagi lawan"nya...
Dan 'Gilanya' lagi Liverpool bisa menggaet Milner dari Manchester City
secara GRATIS!
walaupun permainannya gak bgitu Fenomenal, IMHO
tapi pengaruhnya dalem team... perlu diperhitungkan bagi lawan"nya...
Dan 'Gilanya' lagi Liverpool bisa menggaet Milner dari Manchester City
secara GRATIS!
Mahrez!
Biasanya MU terkadang hoki
hahq ad yg gratis juga
murah ke beli kacang
si charlie austin juga gan, kalo ga salah si southampton dapet doi dengan harga yg ga mahal2 amat. bikin MU yg dulunya ngebet ngincer pake harga mayan tinggi gigit jari
Nama yg gk familiar bagi ane...
Kecuali vardy, mahrez, hart, milner...
Kecuali vardy, mahrez, hart, milner...
Kita semua menyukai Leicester City dengan alasan yang sama mengapa kita secara tak sadar selalu mendukung kontestan dengan latar belakang sosio-ekonomi paling sederhana di acara kompetisi adu bakat di TV. Kita selalu gemar mendukung underdog di mana pun mereka berada, karena secara psikologis kita ingin melihat hukum probabilitas ditunggangbalikkan.
Kita menyukai underdog karena pada satu titik dalam hidup kita juga pernah menjadi underdog, dan tahu bagaimana rasanya dianggap remeh oleh orang lain. Karena itu setiap kita melihat underdog berkompetisi, kita merasa ada bagian dari diri kita yang sedang ikut bertarung di sana.
Tidak hanya itu, kisah soal underdog mempunyai unsur hiburan dan atraksi yang jauh lebih besar. Tengoklah semua film Hollywood yang berlatar belakang olahraga, dari mulai Mighty Ducks hingga Remember The Titans, semuanya berkisah soal perjuangan tim dengan probabilitas kecil untuk menang menuju kejayaan.
Bahkan franchise film olahraga paling lama dan sukses dalam sejarah, Rocky, pada dasarnya hanya bercerita soal seorang petinju underdog keturunan Italia yang selalu bengap pada setiap pertandingan dan meracau tak jelas di pengujung film sebelum meraih kemenangan. Bahkan sekuel terbaru dari franchise ini, Creed (yang entah mengapa tak masuk Indonesia) pun tak jauh-jauh dalam mengambil plot cerita.
Underdog telah lama menjadi narasi yang menghibur dan laku dijual. Bahkan penulis Amerika Serikat abad 19, Horatio Alger Jr. menjadikan underdog sebagai tema utama semua buku-bukunya. Semua buku yang ia tulis selalu memiliki plot utama yang mirip-mirip: underdog dalam hidup yang tumbuh miskin lalu bertarung dalam kompetisi hidup dan keluar sebagai pemenang yang sukses pada akhirnya. Narasi utama Horatio Alger Jr. sepertinya menjadi prekursor bagi produk-produk budaya populer di kemudian hari yang menjagokan underdog.
Maka tidak mengherankan ketika Adrian Butchart, penulis skrip film Goal (dengan protagonis Santiago Munez yang meniti karir dari dusun di Meksiko hingga ke Real Madrid via Newcastle) mengusulkan ide untuk membuat naskah film tentang Jamie Vardy: underdog dari segala underdog.
Vardy adalah perwujudan dari konsep underdog dan keberadaannya penting di balik ketertarikan banyak orang dengan kisah Cinderella Leicester City. Sama seperti Katniss Everdeen dalam trilogi Hunger Games, Jamie Vardy adalah wajah revolusi.
Kita sudah tahu cerita bahwa Jamie Vardy dilepas oleh Sheffield Wednesday pada usia 16 tahun karena dianggap tidak cukup bagus dan akibatnya harus bermain di klub amatir Stocksbridge Park Steels.
Tapi sesungguhnya Vardy bukan satu-satunya pemain reject di Leicester City.
Robert Huth dulu dijual Chelsea karena dianggap kalah kualitas dibanding John Terry, William Gallas, dan Ricardo Carvalho.
Kontrak Marc Albrighton tidak diperpanjang Aston Villa karena dianggap dirinya hanya bisa melepas umpan silang tanpa dilengkapi kemampuan lain.
Kasper Schmeichel selalu hidup di bawah bayang-bayang bapaknya dan ketika dulu ia gagal mendapatkan tempat utama di bawah mistar gawang Manchester City, seketika ia dianggap hanya bermodal nama belakang saja.
Jebolan akademi Manchester United, Danny Drinkwater, tidak pernah bermain sekalipun untuk "Setan Merah" dan dijual keluar dari Old Trafford setelah mengarungi bertahun-tahun masa pinjaman di beberapa klub.
Danny Simpson bernasib lebih baik karena pernah 3 kali bermain untuk Man United di liga, tapi pada akhirnya juga dianggap tidak cukup bagus dan terpaksa hengkang. Demikian juga dengan Ritchie De Laet yang dinilai tidak layak menjadi bek Manchester United.
Riyad Mahrez? Jika memang ia dulu dianggap pemain penting, mana mungkin dirinya hanya dihargai 400.000 poundsterling (lebih kecil dari gaji Wayne Rooney 2 minggu) ketika dulu dilego oleh Le Havre?
Bahkan tak kurang dari manajer Claudio Ranieri pun selalu hidup di bawah label kelas dua. Pekerjaan terakhir The Tinkerman sebelum menggantikan Nigel Pearson sebagai manajer Leicester adalah menjadi pelatih timnas Yunani yang dipecat dengan memalukan karena tidak pernah menang dalam 4 pertandingan dan kalah di kandang dari Kepulauan Faroe.
Ketika Ranieri resmi menjadi manajer Leicester, semua orang menjagokannya mereka sebagai kandidat kuat degradasi. Ranieri adalah pelatih gagal. Leicester adalah klub gagal yang kebetulan beruntung akhir musim lalu. Kali ini mereka pasti gagal.
Kumpulan pemain reject di Leicester City itu sekarang sedang menertawakan para pencibirnya. Kita pun ikut tertawa karena kita membungkam haters adalah hal yang menyenangkan.
***
Beberapa orang gegabah menyamakan prestasi Leicester City sejauh ini dengan pencapaian Blackburn Rovers di medio 90-an, tapi sesungguhnya itu adalah komparasi yang salah. Ketika menjadi juara liga tahun 1995, Blackburn sudah menjadi klub kuat yang finis sebagai runner-up semusim sebelumnya. Setahun kemarin, Leicester adalah penghuni dasar klasemen dan degradasi terlihat seperti takdir bagi mereka.
Tidak hanya itu, Blackburn ketika itu adalah klub kaya yang dimiliki konglomerat Jack Walker yang, sebagai fan berat Rovers, memecahkan rekor transfer Inggris untuk membeli Alan Shearer dan kemudian Chris Sutton. Leicester memang dimiliki konglomerat juga, tapi pemain termahal yang dibeli pemilik klub asal Thailand, Vichai Srivaddhanaprabha, hanyalah striker Leonardo Ulloa yang statusnya sekarang hanyalah pemeran pendukung di belakang aktor utama: Vardy dan Mahrez.
Muncul dan ujug-ujug bikin keributan di papan atas, apa yang dilakukan Leicester sekarang lebih mirip apa yang dilakukan Nottingham Forest-nya Brian Clough yang menjuarai liga tahun 1978. Bahkan bisa jadi apa yang dilakukan Leicester sampai tahap ini lebih di luar dugaan dibanding Forest karena reputasi Brian Clough sebagai tukang sulap sudah terbentuk ketika membawa klub kelas kecamatan seperti Derby County juara liga tahun 1972. Reputasi Ranieri hanya sebagai Tinkerman yang lebih doyan gonta-ganti pemain dibanding artis gonta-ganti pasangan.
Masih jauh jalan Leicester untuk mengulangi apa yang dicapai oleh Nottingham Forest, karena tidak hanya menjuarai liga, Forest juga menjuarai European Cup dua kali berturut-turut. Tapi rasanya ini saat yang tepat untuk mulai memberikan Leicester kredit yang pantas mereka dapatkan.
Selama ini Leicester hanya dianggap beruntung semata karena mendapatkan jadwal yang ringan. Namun mengalahkan Chelsea (yang bagaimanapun tetap juara bertahan) membuat mau tak mau publik sepakbola harus menganggap mereka serius. Target Ranieri tetap seperti semula untuk selamat dari degradasi. Usai partai melawan Chelsea, secara implisit Ranieri mengatakan bahwa sekarang targetnya bertambah untuk mengamankan dua pemain bintang mereka ketika ia berkomentar bahwa tak akan ada klub yang bisa membeli Jamie Vardy dan Riyad Mahrez.
Mungkin memang Leicester tak akan keluar sebagai juara di akhir musim nanti. Mungkin segala euforia soal Vardy dan kawan-kawan akan padam beberapa pekan ke depan ketika badai cedera melanda dan rentetan hasil buruk mereka dapatkan. Bahkan mungkin saja Vardy dan Mahrez tak akan berbaju Leicester lagi ketika jendela transfer musim dingin ditutup.
Tapi selama mereka masih berada di puncak dan meraih kemenangan demi kemenangan, Leicester City patut dirayakan.
Apa yang dilakukan Leicester adalah mendobrak oligarki penguasa Liga Inggris. Selama ini yang bisa bertakhta di Premier League hanyalah wajah-wajah lama. Jikalau ada wajah baru, pastilah dengan dukungan dana tak terbatas seperti Manchester City. Leicester menjadi perwujudan usaha untuk meruntuhkan hegemoni.
Tentu saja elit-elit Liga Inggris sedang kebakaran jenggot sekarang melihat bagaimana klub biasa dari daerah seperti Leicester bisa mengangkangi mereka yang berdarah aristokrat. Tentu saja para elit dan oligarki sepakbola ini akan berupaya untuk menggoyang singgasana pimpinan klasemen yang dianggap kampungan seperti Leicester. Segala cara akan ditempuh termasuk taktik klasik menggembosi lawan di bursa transfer.
Inilah mengapa Leicester City harus mendapat dukungan, tak peduli apa klub sepakbola favorit anda, karena Leicester City adalah kita.
Salam Chat Sh*t Get Banged.
Kita menyukai underdog karena pada satu titik dalam hidup kita juga pernah menjadi underdog, dan tahu bagaimana rasanya dianggap remeh oleh orang lain. Karena itu setiap kita melihat underdog berkompetisi, kita merasa ada bagian dari diri kita yang sedang ikut bertarung di sana.
Tidak hanya itu, kisah soal underdog mempunyai unsur hiburan dan atraksi yang jauh lebih besar. Tengoklah semua film Hollywood yang berlatar belakang olahraga, dari mulai Mighty Ducks hingga Remember The Titans, semuanya berkisah soal perjuangan tim dengan probabilitas kecil untuk menang menuju kejayaan.
Bahkan franchise film olahraga paling lama dan sukses dalam sejarah, Rocky, pada dasarnya hanya bercerita soal seorang petinju underdog keturunan Italia yang selalu bengap pada setiap pertandingan dan meracau tak jelas di pengujung film sebelum meraih kemenangan. Bahkan sekuel terbaru dari franchise ini, Creed (yang entah mengapa tak masuk Indonesia) pun tak jauh-jauh dalam mengambil plot cerita.
Underdog telah lama menjadi narasi yang menghibur dan laku dijual. Bahkan penulis Amerika Serikat abad 19, Horatio Alger Jr. menjadikan underdog sebagai tema utama semua buku-bukunya. Semua buku yang ia tulis selalu memiliki plot utama yang mirip-mirip: underdog dalam hidup yang tumbuh miskin lalu bertarung dalam kompetisi hidup dan keluar sebagai pemenang yang sukses pada akhirnya. Narasi utama Horatio Alger Jr. sepertinya menjadi prekursor bagi produk-produk budaya populer di kemudian hari yang menjagokan underdog.
Maka tidak mengherankan ketika Adrian Butchart, penulis skrip film Goal (dengan protagonis Santiago Munez yang meniti karir dari dusun di Meksiko hingga ke Real Madrid via Newcastle) mengusulkan ide untuk membuat naskah film tentang Jamie Vardy: underdog dari segala underdog.
Vardy adalah perwujudan dari konsep underdog dan keberadaannya penting di balik ketertarikan banyak orang dengan kisah Cinderella Leicester City. Sama seperti Katniss Everdeen dalam trilogi Hunger Games, Jamie Vardy adalah wajah revolusi.
Kita sudah tahu cerita bahwa Jamie Vardy dilepas oleh Sheffield Wednesday pada usia 16 tahun karena dianggap tidak cukup bagus dan akibatnya harus bermain di klub amatir Stocksbridge Park Steels.
Tapi sesungguhnya Vardy bukan satu-satunya pemain reject di Leicester City.
Robert Huth dulu dijual Chelsea karena dianggap kalah kualitas dibanding John Terry, William Gallas, dan Ricardo Carvalho.
Kontrak Marc Albrighton tidak diperpanjang Aston Villa karena dianggap dirinya hanya bisa melepas umpan silang tanpa dilengkapi kemampuan lain.
Kasper Schmeichel selalu hidup di bawah bayang-bayang bapaknya dan ketika dulu ia gagal mendapatkan tempat utama di bawah mistar gawang Manchester City, seketika ia dianggap hanya bermodal nama belakang saja.
Jebolan akademi Manchester United, Danny Drinkwater, tidak pernah bermain sekalipun untuk "Setan Merah" dan dijual keluar dari Old Trafford setelah mengarungi bertahun-tahun masa pinjaman di beberapa klub.
Danny Simpson bernasib lebih baik karena pernah 3 kali bermain untuk Man United di liga, tapi pada akhirnya juga dianggap tidak cukup bagus dan terpaksa hengkang. Demikian juga dengan Ritchie De Laet yang dinilai tidak layak menjadi bek Manchester United.
Riyad Mahrez? Jika memang ia dulu dianggap pemain penting, mana mungkin dirinya hanya dihargai 400.000 poundsterling (lebih kecil dari gaji Wayne Rooney 2 minggu) ketika dulu dilego oleh Le Havre?
Bahkan tak kurang dari manajer Claudio Ranieri pun selalu hidup di bawah label kelas dua. Pekerjaan terakhir The Tinkerman sebelum menggantikan Nigel Pearson sebagai manajer Leicester adalah menjadi pelatih timnas Yunani yang dipecat dengan memalukan karena tidak pernah menang dalam 4 pertandingan dan kalah di kandang dari Kepulauan Faroe.
Ketika Ranieri resmi menjadi manajer Leicester, semua orang menjagokannya mereka sebagai kandidat kuat degradasi. Ranieri adalah pelatih gagal. Leicester adalah klub gagal yang kebetulan beruntung akhir musim lalu. Kali ini mereka pasti gagal.
Kumpulan pemain reject di Leicester City itu sekarang sedang menertawakan para pencibirnya. Kita pun ikut tertawa karena kita membungkam haters adalah hal yang menyenangkan.
***
Beberapa orang gegabah menyamakan prestasi Leicester City sejauh ini dengan pencapaian Blackburn Rovers di medio 90-an, tapi sesungguhnya itu adalah komparasi yang salah. Ketika menjadi juara liga tahun 1995, Blackburn sudah menjadi klub kuat yang finis sebagai runner-up semusim sebelumnya. Setahun kemarin, Leicester adalah penghuni dasar klasemen dan degradasi terlihat seperti takdir bagi mereka.
Tidak hanya itu, Blackburn ketika itu adalah klub kaya yang dimiliki konglomerat Jack Walker yang, sebagai fan berat Rovers, memecahkan rekor transfer Inggris untuk membeli Alan Shearer dan kemudian Chris Sutton. Leicester memang dimiliki konglomerat juga, tapi pemain termahal yang dibeli pemilik klub asal Thailand, Vichai Srivaddhanaprabha, hanyalah striker Leonardo Ulloa yang statusnya sekarang hanyalah pemeran pendukung di belakang aktor utama: Vardy dan Mahrez.
Muncul dan ujug-ujug bikin keributan di papan atas, apa yang dilakukan Leicester sekarang lebih mirip apa yang dilakukan Nottingham Forest-nya Brian Clough yang menjuarai liga tahun 1978. Bahkan bisa jadi apa yang dilakukan Leicester sampai tahap ini lebih di luar dugaan dibanding Forest karena reputasi Brian Clough sebagai tukang sulap sudah terbentuk ketika membawa klub kelas kecamatan seperti Derby County juara liga tahun 1972. Reputasi Ranieri hanya sebagai Tinkerman yang lebih doyan gonta-ganti pemain dibanding artis gonta-ganti pasangan.
Masih jauh jalan Leicester untuk mengulangi apa yang dicapai oleh Nottingham Forest, karena tidak hanya menjuarai liga, Forest juga menjuarai European Cup dua kali berturut-turut. Tapi rasanya ini saat yang tepat untuk mulai memberikan Leicester kredit yang pantas mereka dapatkan.
Selama ini Leicester hanya dianggap beruntung semata karena mendapatkan jadwal yang ringan. Namun mengalahkan Chelsea (yang bagaimanapun tetap juara bertahan) membuat mau tak mau publik sepakbola harus menganggap mereka serius. Target Ranieri tetap seperti semula untuk selamat dari degradasi. Usai partai melawan Chelsea, secara implisit Ranieri mengatakan bahwa sekarang targetnya bertambah untuk mengamankan dua pemain bintang mereka ketika ia berkomentar bahwa tak akan ada klub yang bisa membeli Jamie Vardy dan Riyad Mahrez.
Mungkin memang Leicester tak akan keluar sebagai juara di akhir musim nanti. Mungkin segala euforia soal Vardy dan kawan-kawan akan padam beberapa pekan ke depan ketika badai cedera melanda dan rentetan hasil buruk mereka dapatkan. Bahkan mungkin saja Vardy dan Mahrez tak akan berbaju Leicester lagi ketika jendela transfer musim dingin ditutup.
Tapi selama mereka masih berada di puncak dan meraih kemenangan demi kemenangan, Leicester City patut dirayakan.
Apa yang dilakukan Leicester adalah mendobrak oligarki penguasa Liga Inggris. Selama ini yang bisa bertakhta di Premier League hanyalah wajah-wajah lama. Jikalau ada wajah baru, pastilah dengan dukungan dana tak terbatas seperti Manchester City. Leicester menjadi perwujudan usaha untuk meruntuhkan hegemoni.
Tentu saja elit-elit Liga Inggris sedang kebakaran jenggot sekarang melihat bagaimana klub biasa dari daerah seperti Leicester bisa mengangkangi mereka yang berdarah aristokrat. Tentu saja para elit dan oligarki sepakbola ini akan berupaya untuk menggoyang singgasana pimpinan klasemen yang dianggap kampungan seperti Leicester. Segala cara akan ditempuh termasuk taktik klasik menggembosi lawan di bursa transfer.
Inilah mengapa Leicester City harus mendapat dukungan, tak peduli apa klub sepakbola favorit anda, karena Leicester City adalah kita.
Salam Chat Sh*t Get Banged.
Kan mungkin mereka pake prinsip biar murah asal kepake, setelah kepake di olah trus di jadiin bintang dah, BTW joe hart sama vardy sukses ya walaupun di beli murah
nyesek nggak tuh gan kalu di jual murah ama klub
Quote:Original Posted By kuda.unta ►
Kita semua menyukai Leicester City dengan alasan yang sama mengapa kita secara tak sadar selalu mendukung kontestan dengan latar belakang sosio-ekonomi paling sederhana di acara kompetisi adu bakat di TV. Kita selalu gemar mendukung underdog di mana pun mereka berada, karena secara psikologis kita ingin melihat hukum probabilitas ditunggangbalikkan.
Kita menyukai underdog karena pada satu titik dalam hidup kita juga pernah menjadi underdog, dan tahu bagaimana rasanya dianggap remeh oleh orang lain. Karena itu setiap kita melihat underdog berkompetisi, kita merasa ada bagian dari diri kita yang sedang ikut bertarung di sana.
Tidak hanya itu, kisah soal underdog mempunyai unsur hiburan dan atraksi yang jauh lebih besar. Tengoklah semua film Hollywood yang berlatar belakang olahraga, dari mulai Mighty Ducks hingga Remember The Titans, semuanya berkisah soal perjuangan tim dengan probabilitas kecil untuk menang menuju kejayaan.
Bahkan franchise film olahraga paling lama dan sukses dalam sejarah, Rocky, pada dasarnya hanya bercerita soal seorang petinju underdog keturunan Italia yang selalu bengap pada setiap pertandingan dan meracau tak jelas di pengujung film sebelum meraih kemenangan. Bahkan sekuel terbaru dari franchise ini, Creed (yang entah mengapa tak masuk Indonesia) pun tak jauh-jauh dalam mengambil plot cerita.
Underdog telah lama menjadi narasi yang menghibur dan laku dijual. Bahkan penulis Amerika Serikat abad 19, Horatio Alger Jr. menjadikan underdog sebagai tema utama semua buku-bukunya. Semua buku yang ia tulis selalu memiliki plot utama yang mirip-mirip: underdog dalam hidup yang tumbuh miskin lalu bertarung dalam kompetisi hidup dan keluar sebagai pemenang yang sukses pada akhirnya. Narasi utama Horatio Alger Jr. sepertinya menjadi prekursor bagi produk-produk budaya populer di kemudian hari yang menjagokan underdog.
Maka tidak mengherankan ketika Adrian Butchart, penulis skrip film Goal (dengan protagonis Santiago Munez yang meniti karir dari dusun di Meksiko hingga ke Real Madrid via Newcastle) mengusulkan ide untuk membuat naskah film tentang Jamie Vardy: underdog dari segala underdog.
Vardy adalah perwujudan dari konsep underdog dan keberadaannya penting di balik ketertarikan banyak orang dengan kisah Cinderella Leicester City. Sama seperti Katniss Everdeen dalam trilogi Hunger Games, Jamie Vardy adalah wajah revolusi.
Kita sudah tahu cerita bahwa Jamie Vardy dilepas oleh Sheffield Wednesday pada usia 16 tahun karena dianggap tidak cukup bagus dan akibatnya harus bermain di klub amatir Stocksbridge Park Steels.
Tapi sesungguhnya Vardy bukan satu-satunya pemain reject di Leicester City.
Robert Huth dulu dijual Chelsea karena dianggap kalah kualitas dibanding John Terry, William Gallas, dan Ricardo Carvalho.
Kontrak Marc Albrighton tidak diperpanjang Aston Villa karena dianggap dirinya hanya bisa melepas umpan silang tanpa dilengkapi kemampuan lain.
Kasper Schmeichel selalu hidup di bawah bayang-bayang bapaknya dan ketika dulu ia gagal mendapatkan tempat utama di bawah mistar gawang Manchester City, seketika ia dianggap hanya bermodal nama belakang saja.
Jebolan akademi Manchester United, Danny Drinkwater, tidak pernah bermain sekalipun untuk "Setan Merah" dan dijual keluar dari Old Trafford setelah mengarungi bertahun-tahun masa pinjaman di beberapa klub.
Danny Simpson bernasib lebih baik karena pernah 3 kali bermain untuk Man United di liga, tapi pada akhirnya juga dianggap tidak cukup bagus dan terpaksa hengkang. Demikian juga dengan Ritchie De Laet yang dinilai tidak layak menjadi bek Manchester United.
Riyad Mahrez? Jika memang ia dulu dianggap pemain penting, mana mungkin dirinya hanya dihargai 400.000 poundsterling (lebih kecil dari gaji Wayne Rooney 2 minggu) ketika dulu dilego oleh Le Havre?
Bahkan tak kurang dari manajer Claudio Ranieri pun selalu hidup di bawah label kelas dua. Pekerjaan terakhir The Tinkerman sebelum menggantikan Nigel Pearson sebagai manajer Leicester adalah menjadi pelatih timnas Yunani yang dipecat dengan memalukan karena tidak pernah menang dalam 4 pertandingan dan kalah di kandang dari Kepulauan Faroe.
Ketika Ranieri resmi menjadi manajer Leicester, semua orang menjagokannya mereka sebagai kandidat kuat degradasi. Ranieri adalah pelatih gagal. Leicester adalah klub gagal yang kebetulan beruntung akhir musim lalu. Kali ini mereka pasti gagal.
Kumpulan pemain reject di Leicester City itu sekarang sedang menertawakan para pencibirnya. Kita pun ikut tertawa karena kita membungkam haters adalah hal yang menyenangkan.
***
Beberapa orang gegabah menyamakan prestasi Leicester City sejauh ini dengan pencapaian Blackburn Rovers di medio 90-an, tapi sesungguhnya itu adalah komparasi yang salah. Ketika menjadi juara liga tahun 1995, Blackburn sudah menjadi klub kuat yang finis sebagai runner-up semusim sebelumnya. Setahun kemarin, Leicester adalah penghuni dasar klasemen dan degradasi terlihat seperti takdir bagi mereka.
Tidak hanya itu, Blackburn ketika itu adalah klub kaya yang dimiliki konglomerat Jack Walker yang, sebagai fan berat Rovers, memecahkan rekor transfer Inggris untuk membeli Alan Shearer dan kemudian Chris Sutton. Leicester memang dimiliki konglomerat juga, tapi pemain termahal yang dibeli pemilik klub asal Thailand, Vichai Srivaddhanaprabha, hanyalah striker Leonardo Ulloa yang statusnya sekarang hanyalah pemeran pendukung di belakang aktor utama: Vardy dan Mahrez.
Muncul dan ujug-ujug bikin keributan di papan atas, apa yang dilakukan Leicester sekarang lebih mirip apa yang dilakukan Nottingham Forest-nya Brian Clough yang menjuarai liga tahun 1978. Bahkan bisa jadi apa yang dilakukan Leicester sampai tahap ini lebih di luar dugaan dibanding Forest karena reputasi Brian Clough sebagai tukang sulap sudah terbentuk ketika membawa klub kelas kecamatan seperti Derby County juara liga tahun 1972. Reputasi Ranieri hanya sebagai Tinkerman yang lebih doyan gonta-ganti pemain dibanding artis gonta-ganti pasangan.
Masih jauh jalan Leicester untuk mengulangi apa yang dicapai oleh Nottingham Forest, karena tidak hanya menjuarai liga, Forest juga menjuarai European Cup dua kali berturut-turut. Tapi rasanya ini saat yang tepat untuk mulai memberikan Leicester kredit yang pantas mereka dapatkan.
Selama ini Leicester hanya dianggap beruntung semata karena mendapatkan jadwal yang ringan. Namun mengalahkan Chelsea (yang bagaimanapun tetap juara bertahan) membuat mau tak mau publik sepakbola harus menganggap mereka serius. Target Ranieri tetap seperti semula untuk selamat dari degradasi. Usai partai melawan Chelsea, secara implisit Ranieri mengatakan bahwa sekarang targetnya bertambah untuk mengamankan dua pemain bintang mereka ketika ia berkomentar bahwa tak akan ada klub yang bisa membeli Jamie Vardy dan Riyad Mahrez.
Mungkin memang Leicester tak akan keluar sebagai juara di akhir musim nanti. Mungkin segala euforia soal Vardy dan kawan-kawan akan padam beberapa pekan ke depan ketika badai cedera melanda dan rentetan hasil buruk mereka dapatkan. Bahkan mungkin saja Vardy dan Mahrez tak akan berbaju Leicester lagi ketika jendela transfer musim dingin ditutup.
Tapi selama mereka masih berada di puncak dan meraih kemenangan demi kemenangan, Leicester City patut dirayakan.
Apa yang dilakukan Leicester adalah mendobrak oligarki penguasa Liga Inggris. Selama ini yang bisa bertakhta di Premier League hanyalah wajah-wajah lama. Jikalau ada wajah baru, pastilah dengan dukungan dana tak terbatas seperti Manchester City. Leicester menjadi perwujudan usaha untuk meruntuhkan hegemoni.
Tentu saja elit-elit Liga Inggris sedang kebakaran jenggot sekarang melihat bagaimana klub biasa dari daerah seperti Leicester bisa mengangkangi mereka yang berdarah aristokrat. Tentu saja para elit dan oligarki sepakbola ini akan berupaya untuk menggoyang singgasana pimpinan klasemen yang dianggap kampungan seperti Leicester. Segala cara akan ditempuh termasuk taktik klasik menggembosi lawan di bursa transfer.
Inilah mengapa Leicester City harus mendapat dukungan, tak peduli apa klub sepakbola favorit anda, karena Leicester City adalah kita.
Salam Chat Sh*t Get Banged.
setuju ama pendapat ente gan, ga peduli gelarnya berapa, pernah degradasi ato enggak, harus kita akui Leicester musim ini memang bukan tim kuda hitam yang biasa biasa kualitasnya
Via: Kaskus.co.id
Kita semua menyukai Leicester City dengan alasan yang sama mengapa kita secara tak sadar selalu mendukung kontestan dengan latar belakang sosio-ekonomi paling sederhana di acara kompetisi adu bakat di TV. Kita selalu gemar mendukung underdog di mana pun mereka berada, karena secara psikologis kita ingin melihat hukum probabilitas ditunggangbalikkan.
Kita menyukai underdog karena pada satu titik dalam hidup kita juga pernah menjadi underdog, dan tahu bagaimana rasanya dianggap remeh oleh orang lain. Karena itu setiap kita melihat underdog berkompetisi, kita merasa ada bagian dari diri kita yang sedang ikut bertarung di sana.
Tidak hanya itu, kisah soal underdog mempunyai unsur hiburan dan atraksi yang jauh lebih besar. Tengoklah semua film Hollywood yang berlatar belakang olahraga, dari mulai Mighty Ducks hingga Remember The Titans, semuanya berkisah soal perjuangan tim dengan probabilitas kecil untuk menang menuju kejayaan.
Bahkan franchise film olahraga paling lama dan sukses dalam sejarah, Rocky, pada dasarnya hanya bercerita soal seorang petinju underdog keturunan Italia yang selalu bengap pada setiap pertandingan dan meracau tak jelas di pengujung film sebelum meraih kemenangan. Bahkan sekuel terbaru dari franchise ini, Creed (yang entah mengapa tak masuk Indonesia) pun tak jauh-jauh dalam mengambil plot cerita.
Underdog telah lama menjadi narasi yang menghibur dan laku dijual. Bahkan penulis Amerika Serikat abad 19, Horatio Alger Jr. menjadikan underdog sebagai tema utama semua buku-bukunya. Semua buku yang ia tulis selalu memiliki plot utama yang mirip-mirip: underdog dalam hidup yang tumbuh miskin lalu bertarung dalam kompetisi hidup dan keluar sebagai pemenang yang sukses pada akhirnya. Narasi utama Horatio Alger Jr. sepertinya menjadi prekursor bagi produk-produk budaya populer di kemudian hari yang menjagokan underdog.
Maka tidak mengherankan ketika Adrian Butchart, penulis skrip film Goal (dengan protagonis Santiago Munez yang meniti karir dari dusun di Meksiko hingga ke Real Madrid via Newcastle) mengusulkan ide untuk membuat naskah film tentang Jamie Vardy: underdog dari segala underdog.
Vardy adalah perwujudan dari konsep underdog dan keberadaannya penting di balik ketertarikan banyak orang dengan kisah Cinderella Leicester City. Sama seperti Katniss Everdeen dalam trilogi Hunger Games, Jamie Vardy adalah wajah revolusi.
Kita sudah tahu cerita bahwa Jamie Vardy dilepas oleh Sheffield Wednesday pada usia 16 tahun karena dianggap tidak cukup bagus dan akibatnya harus bermain di klub amatir Stocksbridge Park Steels.
Tapi sesungguhnya Vardy bukan satu-satunya pemain reject di Leicester City.
Robert Huth dulu dijual Chelsea karena dianggap kalah kualitas dibanding John Terry, William Gallas, dan Ricardo Carvalho.
Kontrak Marc Albrighton tidak diperpanjang Aston Villa karena dianggap dirinya hanya bisa melepas umpan silang tanpa dilengkapi kemampuan lain.
Kasper Schmeichel selalu hidup di bawah bayang-bayang bapaknya dan ketika dulu ia gagal mendapatkan tempat utama di bawah mistar gawang Manchester City, seketika ia dianggap hanya bermodal nama belakang saja.
Jebolan akademi Manchester United, Danny Drinkwater, tidak pernah bermain sekalipun untuk "Setan Merah" dan dijual keluar dari Old Trafford setelah mengarungi bertahun-tahun masa pinjaman di beberapa klub.
Danny Simpson bernasib lebih baik karena pernah 3 kali bermain untuk Man United di liga, tapi pada akhirnya juga dianggap tidak cukup bagus dan terpaksa hengkang. Demikian juga dengan Ritchie De Laet yang dinilai tidak layak menjadi bek Manchester United.
Riyad Mahrez? Jika memang ia dulu dianggap pemain penting, mana mungkin dirinya hanya dihargai 400.000 poundsterling (lebih kecil dari gaji Wayne Rooney 2 minggu) ketika dulu dilego oleh Le Havre?
Bahkan tak kurang dari manajer Claudio Ranieri pun selalu hidup di bawah label kelas dua. Pekerjaan terakhir The Tinkerman sebelum menggantikan Nigel Pearson sebagai manajer Leicester adalah menjadi pelatih timnas Yunani yang dipecat dengan memalukan karena tidak pernah menang dalam 4 pertandingan dan kalah di kandang dari Kepulauan Faroe.
Ketika Ranieri resmi menjadi manajer Leicester, semua orang menjagokannya mereka sebagai kandidat kuat degradasi. Ranieri adalah pelatih gagal. Leicester adalah klub gagal yang kebetulan beruntung akhir musim lalu. Kali ini mereka pasti gagal.
Kumpulan pemain reject di Leicester City itu sekarang sedang menertawakan para pencibirnya. Kita pun ikut tertawa karena kita membungkam haters adalah hal yang menyenangkan.
***
Beberapa orang gegabah menyamakan prestasi Leicester City sejauh ini dengan pencapaian Blackburn Rovers di medio 90-an, tapi sesungguhnya itu adalah komparasi yang salah. Ketika menjadi juara liga tahun 1995, Blackburn sudah menjadi klub kuat yang finis sebagai runner-up semusim sebelumnya. Setahun kemarin, Leicester adalah penghuni dasar klasemen dan degradasi terlihat seperti takdir bagi mereka.
Tidak hanya itu, Blackburn ketika itu adalah klub kaya yang dimiliki konglomerat Jack Walker yang, sebagai fan berat Rovers, memecahkan rekor transfer Inggris untuk membeli Alan Shearer dan kemudian Chris Sutton. Leicester memang dimiliki konglomerat juga, tapi pemain termahal yang dibeli pemilik klub asal Thailand, Vichai Srivaddhanaprabha, hanyalah striker Leonardo Ulloa yang statusnya sekarang hanyalah pemeran pendukung di belakang aktor utama: Vardy dan Mahrez.
Muncul dan ujug-ujug bikin keributan di papan atas, apa yang dilakukan Leicester sekarang lebih mirip apa yang dilakukan Nottingham Forest-nya Brian Clough yang menjuarai liga tahun 1978. Bahkan bisa jadi apa yang dilakukan Leicester sampai tahap ini lebih di luar dugaan dibanding Forest karena reputasi Brian Clough sebagai tukang sulap sudah terbentuk ketika membawa klub kelas kecamatan seperti Derby County juara liga tahun 1972. Reputasi Ranieri hanya sebagai Tinkerman yang lebih doyan gonta-ganti pemain dibanding artis gonta-ganti pasangan.
Masih jauh jalan Leicester untuk mengulangi apa yang dicapai oleh Nottingham Forest, karena tidak hanya menjuarai liga, Forest juga menjuarai European Cup dua kali berturut-turut. Tapi rasanya ini saat yang tepat untuk mulai memberikan Leicester kredit yang pantas mereka dapatkan.
Selama ini Leicester hanya dianggap beruntung semata karena mendapatkan jadwal yang ringan. Namun mengalahkan Chelsea (yang bagaimanapun tetap juara bertahan) membuat mau tak mau publik sepakbola harus menganggap mereka serius. Target Ranieri tetap seperti semula untuk selamat dari degradasi. Usai partai melawan Chelsea, secara implisit Ranieri mengatakan bahwa sekarang targetnya bertambah untuk mengamankan dua pemain bintang mereka ketika ia berkomentar bahwa tak akan ada klub yang bisa membeli Jamie Vardy dan Riyad Mahrez.
Mungkin memang Leicester tak akan keluar sebagai juara di akhir musim nanti. Mungkin segala euforia soal Vardy dan kawan-kawan akan padam beberapa pekan ke depan ketika badai cedera melanda dan rentetan hasil buruk mereka dapatkan. Bahkan mungkin saja Vardy dan Mahrez tak akan berbaju Leicester lagi ketika jendela transfer musim dingin ditutup.
Tapi selama mereka masih berada di puncak dan meraih kemenangan demi kemenangan, Leicester City patut dirayakan.
Apa yang dilakukan Leicester adalah mendobrak oligarki penguasa Liga Inggris. Selama ini yang bisa bertakhta di Premier League hanyalah wajah-wajah lama. Jikalau ada wajah baru, pastilah dengan dukungan dana tak terbatas seperti Manchester City. Leicester menjadi perwujudan usaha untuk meruntuhkan hegemoni.
Tentu saja elit-elit Liga Inggris sedang kebakaran jenggot sekarang melihat bagaimana klub biasa dari daerah seperti Leicester bisa mengangkangi mereka yang berdarah aristokrat. Tentu saja para elit dan oligarki sepakbola ini akan berupaya untuk menggoyang singgasana pimpinan klasemen yang dianggap kampungan seperti Leicester. Segala cara akan ditempuh termasuk taktik klasik menggembosi lawan di bursa transfer.
Inilah mengapa Leicester City harus mendapat dukungan, tak peduli apa klub sepakbola favorit anda, karena Leicester City adalah kita.
Salam Chat Sh*t Get Banged.
setuju ama pendapat ente gan, ga peduli gelarnya berapa, pernah degradasi ato enggak, harus kita akui Leicester musim ini memang bukan tim kuda hitam yang biasa biasa kualitasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar