TENTANG MENGINAP DI RUMAH REKTOR, SURAT PANGGILAN ORANG TUA, DAN PERINGATAN DIPIDANAKAN - SEMACAM KLARIFIKASI
“Dialog ibarat pisau bermata dua. Ia adalah kekuatan bagi penguasa (yang baik). Namun juga kelemahan bagi penguasa (yang lalim). Semoga kau termasuk yang baik, amin”
Assalamualaikum Wr. Wb
Perkenalkan kawan-kawan, kami Ari Bagus Panuntun (Sastra Prancis) dan Patwa Alhuda (Sastra Nusantara), mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, salah dua dari sekian ratus atau bahkan ribu orang yang simpati pada kasus relokasi pedagang Bonbin UGM.
Tulisan kami ini akan menjadi klarifikasi atas kegaduhan yang hari ini timbul. Munculnya beragam pertanyaan terkait Kantin Bonbin, Surat Panggilan Orang Tua, hingga persoalan Ancaman Pidana, membuat kami sepakat untuk sejenak berhenti ngetik skripsi, lalu memilih menulis klarifikasi ini.
Mungkin kami akan memulainya dari panggilan Dekan FIB kepada masing-masing dari kami. Semua ini berhubungan dengan gerakan SBM (Save Bonbin Movement), yang akan sangat panjang jika kami ceritakan disini. Silahkan add OA Line Save Bonbin Movement: @loy0644y dan scroll puluhan tulisan dan kajian dari kami.
Bahan bacaan:
DRIVE
KORAN YOGYA
NOTE FB 1
NOTE FB 2
NOTE FB 3
KASKUS
(((Selanjutnya, silahkan ceritakan kronologinya dari versi anda, Mas Bagus)))
PANGGILAN DEKAN DAN CERITA TENTANG MENGINAP DI DEPAN RUMAH REKTOR
Perkenalkan kawan. Saya Bagus. Saya dipanggil Pak Pujo, Dekan FIB, pada tanggal 25 April 2016 melalui whatsapp dari Mas Zam, Sekretaris Dekan.
Saya bertemu Pak Pujo sekitar pukul 11.00 siang dan kami berdialog di area bangku item FIB. Pertanyaan yang pertama beliau tanyakan adalah, ceritakan kronologi tentang “Nginep di Rumah Rektor”.
Saya pun bercerita tentang “perbuatan” sekitar 15 kawan-kawan SBM yang terpaksa harus mendatangi rumah Rektor. Tujuan dari kedatangan kami ini sebenarnya hanya ada satu hal: Membuka ruang dialog - terkait munculnya SP 2 kepada pedagang Bonbin.Kedatangan ini pun bukan serta merta tanpa sebab. Semua ini berawal dari ucapan janji seorang Rektor itu sendiri.
Pada tanggal 11 April 2016, Bu Rektor pernah berkata di depan 12 pedagang Bonbin plus lebih dari 300 mahasiswa bahwa untuk persoalan Bonbin “Renovasi atau relokasi masih ‘open’ “. Pernyataan tersebut beliau keluarkan setelah mendengar paparan kajian ilmiah dari kawan-kawan SBM yang meliputi kajian Sejarah, Gizi, Ekonomi, Hukum, Psikologi, dan penataan ruang. Di kesempatan tersebut, Rektor juga sempat mendengarkan penolakan pedagang Bonbin untuk direlokasi ke Pujale. Implikasi dari apa yang disampaikan Rektor, berarti bahwa persoalan relokasi Bonbin masih akan dibicarakan lebih lanjut, atau secara singkat: relokasi belum pasti.
Namun, apa yang terjadi pada tanggal 19 April sungguh sangat mengejutkan dan mengecewakan kami. UGM tiba-tiba mengirimkan Surat Peringatan Dua kepada pedagang Bonbin. Dalam surat yang ditandatangani oleh Prof. Henricus selaku Direktur DPPA UGM tersebut, tertulis bahwa jika sampai tanggal 22 April 2016 pedagang tidak menandatangani SP 2 untuk setuju direlokasi ke Pujale, maka pedagang akan dianggap mengundurkan diri dari UGM.
Pedagang pun panik dan merasa tertekan. Kendati tidak setuju dengan relokasi, mereka takut jika mereka tidak membubuhkan tanda tangan, maka hilang sudah lapak mereka, hilang sudah penghidupan mereka. Hal ini membuat pedagang meminta mahasiswa untuk mempertemukan pedagang dengan Bu Rektor.
Tanggal 20 April 2016 kami beberapa kali mengirimkan pesan WA kepada Rektor, namun tiada pesan itu dibalas. Merasa makin tertekan, akhirnya pada H-1 tenggat waktu, yaitu pada tanggal 21 April 2016, kami sepakat untuk menemui Bu Rektor di PKKH UGM. Kebetulan, waktu itu Bu Rektor baru saja mengadakan hearing terbuka mengenai masalah UKT. Pukul 18.00 kami berusaha untuk meminta dialog barang lima menit untuk mempertanyakan mengenai SP 2, namun Bu Rektor mengatakan bahwa beliau sedang sibuk dan lalu pergi begitu saja dengan Mobilnya.
Pedagang pun tak patah semangat. Pada pukul 19.30, mahasiswa dan pedagang yang diwakili Pak Tumino dan Mas Wisnu bersama-sama menuju gedung Rektorat untuk mencoba menemui Rektor. Namun ternyata Bu Rektor tidak ada di tempat.
Dengan waktu yang semakin mepet dan menekan, akhirnya dengan terpaksa kami pun sepakat untuk berkunjung langsung ke rumah Bu Rektor. Sayangnya Pak Tumino jatuh sakit, “pusing sekali” ujarnya, sehingga beliau hanya menitipkan pesan pada Bu Rektor yang pesan tersebut saya rekam di handphone saya.
Sekitar 15 mahasiswa pun datang ke rumah Bu Rektor, dan ternyata di tengah perjalanan kami “slisipan” dengan Bu Rektor yang baru saja keluar dari rumahnya. Akhirnya kami mencoba menemui warga masyarakat yang sedang ronda untuk meminta izin mungkin sampai malam kami akan menunggu Bu Rektor untuk sejenak bertemu. Apa yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Pukul 22.30 Bu Rektor pulang dengan mobil hitamnya. Kami pun segera minggir dan memberi jalan pada mobil Bu Rektor, namun tanpa disangka-sangka, lho lho lho lho lho... Kok mobilnya mbablas??? Aih, ternyata Bu Rektor pergi ke rumah anaknya yang jaraknya hanya sekitar 15 meter dari rumah pribadinya. Salah seorang kawan saya, Hikari, lalu mengejar mobil Bu Rektor sampai kedepan rumah anak Bu Rektor, Hikari jelas melihat bahwa Bu Rektor telah turun dari mobil, namun beliau justru masuk rumah dan menutup rumah beliau.
Kami pun mencoba mengucapkan salam dari luar gerbang, namun hasilnya nihil. Kami lalu mencoba melihat WA Bu Rektor yang saat itu masih online, dan mencoba kembali mengucapkan salam berharap bahwa pintu akan segera terbuka.
Mungkin kami memang terlalu naif, saya sendiri berpikir “Ah Bu Rektor kan baik, pasti nanti beliau mau lah untuk bertemu. Mosok sudah papasan tetap nggak mau ketemu sih?”.
Pintu tak kunjung terbuka, salam tak jua dijawab. Sampai akhirnya kami sepakat pokoknya kita tunggu sampai Bu Rektor bangun dan segar bugar esok pagi, lalu besok pagi kita temui langsung sebelum beliau berangkat ke UGM – kalau kami pulang dulu, kami khawatir besok pun di UGM Bu Rektor tak bisa ditemui.
Semuanya sepakat. Dengan prinsip tidak akan membuat kegaduhan dan juga telah mendapat izin dari masyarakat, kami pun menunggu sampai akhirnya sekitar pukul 01.00 dini hari, suami Bu Rektor datang menemui kami. Percapakapan dengan suami Bu Rektor terjadi sekitar dua puluh menit, mengenai apa isinya saya kira tidak penting untuk saya jabarkan disini. Yang jelas suami Bu Rektor meminta kami untuk segera pulang karena Bu Rektor hendak istirahat, sedang kami meminta agar disampaikan pada Bu Rektor bahwa mahasiswa ingin bertemu barang sepuluh atau lima menit saja untuk bicara tentang SP 2.
Menghormati kemauan suami Bu Rektor, kami akhirnya pulang sekitar pukul 02.00 dan menginap di kontrakan Agung, kawan kami dari hukum, yang kontrakannya tak jauh dari rumah Bu Rektor.Pukul 05.00 pagi tanggal 22 April 2016 kami datang lagi ke rumah Bu Rektor. Namun kami hanya duduk diam di depan gerbang, beberapa tiduran, dan beberapa pesan sate ayam untuk sarapan. Kami sepakat bahwa pukul setengah 7 kami hendak mengetuk pintu rumah Bu Rektor. Pukul setengah 7 pun kami mengetuk pintu gerbang, memencet bel rumah, hingga menyampaikan salam “Assalamualaikum”. Namun lagi-lagi tiada yang terjawab.
Ya Allah.. ngelus dada ya Allah.. SKK pun berdatangan ke rumah Rektor. Saya kira ada sekitar 8 SKK yang kala itu hadir. Menyusul kemudian Pak Sulaiman dan Pak Gagak dari Dirmawa yang juga datang.
Sampai disini, kami mulai gagal paham. Mengapa SKK harus dikerahkan? Bukankah kami sudah menyampaikan melalui WA, melalui suami Bu Rektor, bahwa kami hanya ingin berdialog dengan Bu Rektor mengenai SP 2? Mengapa ajakan dialog, ucapan salam, justru dijawab dengan kedatangan pasukan keamanan?
Hanya Bu Rektor yang bisa menjawab.
Namun akhirnya pukul setengah 8 kami sepakat untuk langsung mengetuk pintu rumah.
Alhuda dipercaya untuk berdiri paling depan menemui suami Bu Rektor, saya ada di belakangnya. Sebagai putra jurusan Sastra Nusantara, kemampuannya berbahasa Jawa krama inggil tak perlu dipertanyakan, pengalaman hidup 21 tahun di daerah pedesaan Gunung Kidul membuat kami percaya bahwa kesantunannya mampu meluluhkan siapapun sang lawan bicara.
“Pak nuwun sewu pak, Saged ketemu Bu Rektor?”.
“Tulung pak, tulung, sedasa utawa gangsal menit mawon mboten nopo-nopo pak?”.
“Pak, niki sampun tanggal 22 pak? Mesake pedagang pak. Kami hanya butuh kepastian pak”.
“Niki rencang-rencang namung pingin silaturahmi pak, nyuwun pitulunge pak”.
Namun semua itu tetap percuma. Nihil. Dialog sekali lagi adalah barang yang sangat langka.
Kami pun berpamitan karena tak ingin ada warga yang penasaran lalu mulai berdatangan.
Dan ketika kami hendak pulang, Bu Rektor pun akhirnya keluar rumah, masuk ke dalam mobil sambil berkata pada para SKK “Matur nuwun nggih pak”...
(((Al... jatahmu nulis Al, kesel wisan aku)))
TENTANG SURAT PANGGILAN ORANG TUA DAN PERINGATAN PIDANA
Apa yang saya (Alhuda) dan Bagus lakukan ternyata masuk ke rekaman CCTV rumah Bu Rektor. Mas Pujo lalu memperingatkan bahwa perbuatan kami sudah kebablasan, bahkan mungkin kami bisa dipidanakan dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.
“Kamu bisa memilih tindakan, tapi tidak dengan konsekwensi”, ujar Mas Pujo.
Apa resikonya jika kami benar dipidanakan? Ya otomatis saya dan Bagus akan di DO. Ini turut diamini oleh Mas Pujo.
Apa kami siap? Ya jelas siap. Siap protes !
Toh, saya yakin bahwa di rekaman CCTV tersebut, kami pun tidak berbuat tindakan-tindakan yang kebablasan, misalnya berteriak, memukul, atau salto.
Kami hanya mengajak dialog secara kekeluargaan. Namun yang kami terima adalah peringatan (semoga bukan ancaman)
Mas Pujo kemudian juga mengirimkan surat panggilan untuk orang tua kami. Menurut Mas Pujo, memanggil orang tua dilakukan karena anak-anak seperti kami sudah tidak bisa lagi diatur. Surat panggilan tersebut sudah diterima oleh kami pada hari ini, 27 April 2016.
Kami sangat menyayangkan pemanggilan orang tua kami ini. Pertama, kami merasa ini lucu. Tindakan ini memaksa kami untuk bernostalgia dengan masa SMA lagi. Kok aneh ya ketika hal ini terjadi di Universitas? Apakah pemanggilan orang tua adalah hal yang “seyogyanya”?
Kedua, tentang alasan bahwa kami tidak bisa diatur. Kami bukan tidak bisa diatur pak, kami tentu saja bisa dan mau diatur, namun jika aturan tersebut kami rasa kurang baik, kami ya akan berusaha protes. Mengenai tindakan protes akan sebuah aturan, kami ingin mengutip sebuah tulisan dari Mas Pujo Semedi dalam tulisannya berjudul McDonaldisasi atau McMeongisasi (2002) “....Gedung-gedung kantor dan ruang kuliah megah disegala penjuru dan mobil mewah berparkiran disetiap halamanya. Namun sosok-sosok maharesi dan begawan yang berwibawa dan mendunia satu persatu telah pergi dan nyaris tidak muncul penerus-penerus perjalanannya. ....Mohon tulisan saya ini diterima sebagai ekspresi cinta seorang warga kepada kampusnya, seorang anak kepada ibu kandung pendidikanya. Bukan sebagai aksi subversif, jangan nanti gara-gara tulisan ini saya dipanggil, didudukan dan dimarahi dimuka para petinggi.” (diterbitkan dalam Kedaulatan Rakyat Rabu 6 Februari 2002). Saya pun ingin menekankan bahwa segala yang saya lakukan dengan menulis opini hingga ikut aksi, pun merupakan ekspresi cinta seorang warga kepada kampusnya, seorang anak kepada ibu kandung pendidikanya. Mengapa karena protes justru didudukkan dan bahkan hingga orang tua dilibatkan?
Mungkin inilah sedikit klarifikasi dari kami. Semoga perbuatan kami mengunjungi rumah Bu Rektor bukan dipahami sebagai sekedar perbuatan kurang ajar, namun lebih dari itu, tindakan ini adalah pilihan terakhir kami atas ruang dialog yang tak kunjung terbuka, di tengah makin kepepetnya nasib pedagang Bonbinkarena SP Dua. Kami tentu saja bersedia meminta maaf kepada Rektor jika perbuatan kami dianggap telah mengganggu kenyamanannya. Namun, kami tetap menuntut Rektor untuk segera mengadakan dialog terbuka dan menyelesaikan persoalan Bonbin dengan menggunakan prinsip partisipatif.
Sebagai penutup, saya akan mengutip quote dari Soe Hok Gus, “Guru bukan Tong Sam Cong yang setiap perkataannya harus dituruti, dan murid bukan Cut Pat Kay yang harus diam saat dibully diceramahi”.
Namun, dalam hal ini, saya merasa bahwa kami bukanlah Cut Pat Kay, kami seperti Sun Go Kong yang kalau berani protes dan nakal dikit langsung dibacakan mantra “Awas DO, Awas DO, Awas DO, Awas DO, Awas DO”, “Awas Pidana, Awas Pidana, Awas Pidana, Awas Pidana...”
Pantas, kepala terasa pening.
NB: MARI TERUS PERJUANGKAN DIALOG TERBUKA ANTARA MAHASISWA, PEDAGANG BONBIN DENGAN REKTORAT, DAN DPPA ! SBM SUDAH MENGIRIMKAN SURAT PERMOHONAN DIALOG TERBUKA, NAMUN BELUM JUGA DIJAWAB. MOHON DOA DAN PARTISIPASINYA.
Salam,
Bagus Panuntun dan Patwa Alhuda, mahasiswa yang mencoba peduli pada kampusnya.
SUMBER : SUMUR
“Dialog ibarat pisau bermata dua. Ia adalah kekuatan bagi penguasa (yang baik). Namun juga kelemahan bagi penguasa (yang lalim). Semoga kau termasuk yang baik, amin”
Assalamualaikum Wr. Wb
Perkenalkan kawan-kawan, kami Ari Bagus Panuntun (Sastra Prancis) dan Patwa Alhuda (Sastra Nusantara), mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, salah dua dari sekian ratus atau bahkan ribu orang yang simpati pada kasus relokasi pedagang Bonbin UGM.
Tulisan kami ini akan menjadi klarifikasi atas kegaduhan yang hari ini timbul. Munculnya beragam pertanyaan terkait Kantin Bonbin, Surat Panggilan Orang Tua, hingga persoalan Ancaman Pidana, membuat kami sepakat untuk sejenak berhenti ngetik skripsi, lalu memilih menulis klarifikasi ini.
Mungkin kami akan memulainya dari panggilan Dekan FIB kepada masing-masing dari kami. Semua ini berhubungan dengan gerakan SBM (Save Bonbin Movement), yang akan sangat panjang jika kami ceritakan disini. Silahkan add OA Line Save Bonbin Movement: @loy0644y dan scroll puluhan tulisan dan kajian dari kami.
Bahan bacaan:
DRIVE
KORAN YOGYA
NOTE FB 1
NOTE FB 2
NOTE FB 3
KASKUS
(((Selanjutnya, silahkan ceritakan kronologinya dari versi anda, Mas Bagus)))
PANGGILAN DEKAN DAN CERITA TENTANG MENGINAP DI DEPAN RUMAH REKTOR
Perkenalkan kawan. Saya Bagus. Saya dipanggil Pak Pujo, Dekan FIB, pada tanggal 25 April 2016 melalui whatsapp dari Mas Zam, Sekretaris Dekan.
Saya bertemu Pak Pujo sekitar pukul 11.00 siang dan kami berdialog di area bangku item FIB. Pertanyaan yang pertama beliau tanyakan adalah, ceritakan kronologi tentang “Nginep di Rumah Rektor”.
Saya pun bercerita tentang “perbuatan” sekitar 15 kawan-kawan SBM yang terpaksa harus mendatangi rumah Rektor. Tujuan dari kedatangan kami ini sebenarnya hanya ada satu hal: Membuka ruang dialog - terkait munculnya SP 2 kepada pedagang Bonbin.Kedatangan ini pun bukan serta merta tanpa sebab. Semua ini berawal dari ucapan janji seorang Rektor itu sendiri.
Pada tanggal 11 April 2016, Bu Rektor pernah berkata di depan 12 pedagang Bonbin plus lebih dari 300 mahasiswa bahwa untuk persoalan Bonbin “Renovasi atau relokasi masih ‘open’ “. Pernyataan tersebut beliau keluarkan setelah mendengar paparan kajian ilmiah dari kawan-kawan SBM yang meliputi kajian Sejarah, Gizi, Ekonomi, Hukum, Psikologi, dan penataan ruang. Di kesempatan tersebut, Rektor juga sempat mendengarkan penolakan pedagang Bonbin untuk direlokasi ke Pujale. Implikasi dari apa yang disampaikan Rektor, berarti bahwa persoalan relokasi Bonbin masih akan dibicarakan lebih lanjut, atau secara singkat: relokasi belum pasti.
Namun, apa yang terjadi pada tanggal 19 April sungguh sangat mengejutkan dan mengecewakan kami. UGM tiba-tiba mengirimkan Surat Peringatan Dua kepada pedagang Bonbin. Dalam surat yang ditandatangani oleh Prof. Henricus selaku Direktur DPPA UGM tersebut, tertulis bahwa jika sampai tanggal 22 April 2016 pedagang tidak menandatangani SP 2 untuk setuju direlokasi ke Pujale, maka pedagang akan dianggap mengundurkan diri dari UGM.
Pedagang pun panik dan merasa tertekan. Kendati tidak setuju dengan relokasi, mereka takut jika mereka tidak membubuhkan tanda tangan, maka hilang sudah lapak mereka, hilang sudah penghidupan mereka. Hal ini membuat pedagang meminta mahasiswa untuk mempertemukan pedagang dengan Bu Rektor.
Tanggal 20 April 2016 kami beberapa kali mengirimkan pesan WA kepada Rektor, namun tiada pesan itu dibalas. Merasa makin tertekan, akhirnya pada H-1 tenggat waktu, yaitu pada tanggal 21 April 2016, kami sepakat untuk menemui Bu Rektor di PKKH UGM. Kebetulan, waktu itu Bu Rektor baru saja mengadakan hearing terbuka mengenai masalah UKT. Pukul 18.00 kami berusaha untuk meminta dialog barang lima menit untuk mempertanyakan mengenai SP 2, namun Bu Rektor mengatakan bahwa beliau sedang sibuk dan lalu pergi begitu saja dengan Mobilnya.
Pedagang pun tak patah semangat. Pada pukul 19.30, mahasiswa dan pedagang yang diwakili Pak Tumino dan Mas Wisnu bersama-sama menuju gedung Rektorat untuk mencoba menemui Rektor. Namun ternyata Bu Rektor tidak ada di tempat.
Dengan waktu yang semakin mepet dan menekan, akhirnya dengan terpaksa kami pun sepakat untuk berkunjung langsung ke rumah Bu Rektor. Sayangnya Pak Tumino jatuh sakit, “pusing sekali” ujarnya, sehingga beliau hanya menitipkan pesan pada Bu Rektor yang pesan tersebut saya rekam di handphone saya.
Sekitar 15 mahasiswa pun datang ke rumah Bu Rektor, dan ternyata di tengah perjalanan kami “slisipan” dengan Bu Rektor yang baru saja keluar dari rumahnya. Akhirnya kami mencoba menemui warga masyarakat yang sedang ronda untuk meminta izin mungkin sampai malam kami akan menunggu Bu Rektor untuk sejenak bertemu. Apa yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Pukul 22.30 Bu Rektor pulang dengan mobil hitamnya. Kami pun segera minggir dan memberi jalan pada mobil Bu Rektor, namun tanpa disangka-sangka, lho lho lho lho lho... Kok mobilnya mbablas??? Aih, ternyata Bu Rektor pergi ke rumah anaknya yang jaraknya hanya sekitar 15 meter dari rumah pribadinya. Salah seorang kawan saya, Hikari, lalu mengejar mobil Bu Rektor sampai kedepan rumah anak Bu Rektor, Hikari jelas melihat bahwa Bu Rektor telah turun dari mobil, namun beliau justru masuk rumah dan menutup rumah beliau.
Kami pun mencoba mengucapkan salam dari luar gerbang, namun hasilnya nihil. Kami lalu mencoba melihat WA Bu Rektor yang saat itu masih online, dan mencoba kembali mengucapkan salam berharap bahwa pintu akan segera terbuka.
Mungkin kami memang terlalu naif, saya sendiri berpikir “Ah Bu Rektor kan baik, pasti nanti beliau mau lah untuk bertemu. Mosok sudah papasan tetap nggak mau ketemu sih?”.
Pintu tak kunjung terbuka, salam tak jua dijawab. Sampai akhirnya kami sepakat pokoknya kita tunggu sampai Bu Rektor bangun dan segar bugar esok pagi, lalu besok pagi kita temui langsung sebelum beliau berangkat ke UGM – kalau kami pulang dulu, kami khawatir besok pun di UGM Bu Rektor tak bisa ditemui.
Semuanya sepakat. Dengan prinsip tidak akan membuat kegaduhan dan juga telah mendapat izin dari masyarakat, kami pun menunggu sampai akhirnya sekitar pukul 01.00 dini hari, suami Bu Rektor datang menemui kami. Percapakapan dengan suami Bu Rektor terjadi sekitar dua puluh menit, mengenai apa isinya saya kira tidak penting untuk saya jabarkan disini. Yang jelas suami Bu Rektor meminta kami untuk segera pulang karena Bu Rektor hendak istirahat, sedang kami meminta agar disampaikan pada Bu Rektor bahwa mahasiswa ingin bertemu barang sepuluh atau lima menit saja untuk bicara tentang SP 2.
Menghormati kemauan suami Bu Rektor, kami akhirnya pulang sekitar pukul 02.00 dan menginap di kontrakan Agung, kawan kami dari hukum, yang kontrakannya tak jauh dari rumah Bu Rektor.Pukul 05.00 pagi tanggal 22 April 2016 kami datang lagi ke rumah Bu Rektor. Namun kami hanya duduk diam di depan gerbang, beberapa tiduran, dan beberapa pesan sate ayam untuk sarapan. Kami sepakat bahwa pukul setengah 7 kami hendak mengetuk pintu rumah Bu Rektor. Pukul setengah 7 pun kami mengetuk pintu gerbang, memencet bel rumah, hingga menyampaikan salam “Assalamualaikum”. Namun lagi-lagi tiada yang terjawab.
Ya Allah.. ngelus dada ya Allah.. SKK pun berdatangan ke rumah Rektor. Saya kira ada sekitar 8 SKK yang kala itu hadir. Menyusul kemudian Pak Sulaiman dan Pak Gagak dari Dirmawa yang juga datang.
Sampai disini, kami mulai gagal paham. Mengapa SKK harus dikerahkan? Bukankah kami sudah menyampaikan melalui WA, melalui suami Bu Rektor, bahwa kami hanya ingin berdialog dengan Bu Rektor mengenai SP 2? Mengapa ajakan dialog, ucapan salam, justru dijawab dengan kedatangan pasukan keamanan?
Hanya Bu Rektor yang bisa menjawab.
Namun akhirnya pukul setengah 8 kami sepakat untuk langsung mengetuk pintu rumah.
Alhuda dipercaya untuk berdiri paling depan menemui suami Bu Rektor, saya ada di belakangnya. Sebagai putra jurusan Sastra Nusantara, kemampuannya berbahasa Jawa krama inggil tak perlu dipertanyakan, pengalaman hidup 21 tahun di daerah pedesaan Gunung Kidul membuat kami percaya bahwa kesantunannya mampu meluluhkan siapapun sang lawan bicara.
“Pak nuwun sewu pak, Saged ketemu Bu Rektor?”.
“Tulung pak, tulung, sedasa utawa gangsal menit mawon mboten nopo-nopo pak?”.
“Pak, niki sampun tanggal 22 pak? Mesake pedagang pak. Kami hanya butuh kepastian pak”.
“Niki rencang-rencang namung pingin silaturahmi pak, nyuwun pitulunge pak”.
Namun semua itu tetap percuma. Nihil. Dialog sekali lagi adalah barang yang sangat langka.
Kami pun berpamitan karena tak ingin ada warga yang penasaran lalu mulai berdatangan.
Dan ketika kami hendak pulang, Bu Rektor pun akhirnya keluar rumah, masuk ke dalam mobil sambil berkata pada para SKK “Matur nuwun nggih pak”...
(((Al... jatahmu nulis Al, kesel wisan aku)))
TENTANG SURAT PANGGILAN ORANG TUA DAN PERINGATAN PIDANA
Apa yang saya (Alhuda) dan Bagus lakukan ternyata masuk ke rekaman CCTV rumah Bu Rektor. Mas Pujo lalu memperingatkan bahwa perbuatan kami sudah kebablasan, bahkan mungkin kami bisa dipidanakan dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.
“Kamu bisa memilih tindakan, tapi tidak dengan konsekwensi”, ujar Mas Pujo.
Apa resikonya jika kami benar dipidanakan? Ya otomatis saya dan Bagus akan di DO. Ini turut diamini oleh Mas Pujo.
Apa kami siap? Ya jelas siap. Siap protes !
Toh, saya yakin bahwa di rekaman CCTV tersebut, kami pun tidak berbuat tindakan-tindakan yang kebablasan, misalnya berteriak, memukul, atau salto.
Kami hanya mengajak dialog secara kekeluargaan. Namun yang kami terima adalah peringatan (semoga bukan ancaman)
Mas Pujo kemudian juga mengirimkan surat panggilan untuk orang tua kami. Menurut Mas Pujo, memanggil orang tua dilakukan karena anak-anak seperti kami sudah tidak bisa lagi diatur. Surat panggilan tersebut sudah diterima oleh kami pada hari ini, 27 April 2016.
Kami sangat menyayangkan pemanggilan orang tua kami ini. Pertama, kami merasa ini lucu. Tindakan ini memaksa kami untuk bernostalgia dengan masa SMA lagi. Kok aneh ya ketika hal ini terjadi di Universitas? Apakah pemanggilan orang tua adalah hal yang “seyogyanya”?
Kedua, tentang alasan bahwa kami tidak bisa diatur. Kami bukan tidak bisa diatur pak, kami tentu saja bisa dan mau diatur, namun jika aturan tersebut kami rasa kurang baik, kami ya akan berusaha protes. Mengenai tindakan protes akan sebuah aturan, kami ingin mengutip sebuah tulisan dari Mas Pujo Semedi dalam tulisannya berjudul McDonaldisasi atau McMeongisasi (2002) “....Gedung-gedung kantor dan ruang kuliah megah disegala penjuru dan mobil mewah berparkiran disetiap halamanya. Namun sosok-sosok maharesi dan begawan yang berwibawa dan mendunia satu persatu telah pergi dan nyaris tidak muncul penerus-penerus perjalanannya. ....Mohon tulisan saya ini diterima sebagai ekspresi cinta seorang warga kepada kampusnya, seorang anak kepada ibu kandung pendidikanya. Bukan sebagai aksi subversif, jangan nanti gara-gara tulisan ini saya dipanggil, didudukan dan dimarahi dimuka para petinggi.” (diterbitkan dalam Kedaulatan Rakyat Rabu 6 Februari 2002). Saya pun ingin menekankan bahwa segala yang saya lakukan dengan menulis opini hingga ikut aksi, pun merupakan ekspresi cinta seorang warga kepada kampusnya, seorang anak kepada ibu kandung pendidikanya. Mengapa karena protes justru didudukkan dan bahkan hingga orang tua dilibatkan?
Mungkin inilah sedikit klarifikasi dari kami. Semoga perbuatan kami mengunjungi rumah Bu Rektor bukan dipahami sebagai sekedar perbuatan kurang ajar, namun lebih dari itu, tindakan ini adalah pilihan terakhir kami atas ruang dialog yang tak kunjung terbuka, di tengah makin kepepetnya nasib pedagang Bonbinkarena SP Dua. Kami tentu saja bersedia meminta maaf kepada Rektor jika perbuatan kami dianggap telah mengganggu kenyamanannya. Namun, kami tetap menuntut Rektor untuk segera mengadakan dialog terbuka dan menyelesaikan persoalan Bonbin dengan menggunakan prinsip partisipatif.
Sebagai penutup, saya akan mengutip quote dari Soe Hok Gus, “Guru bukan Tong Sam Cong yang setiap perkataannya harus dituruti, dan murid bukan Cut Pat Kay yang harus diam saat dibully diceramahi”.
Namun, dalam hal ini, saya merasa bahwa kami bukanlah Cut Pat Kay, kami seperti Sun Go Kong yang kalau berani protes dan nakal dikit langsung dibacakan mantra “Awas DO, Awas DO, Awas DO, Awas DO, Awas DO”, “Awas Pidana, Awas Pidana, Awas Pidana, Awas Pidana...”
Pantas, kepala terasa pening.
NB: MARI TERUS PERJUANGKAN DIALOG TERBUKA ANTARA MAHASISWA, PEDAGANG BONBIN DENGAN REKTORAT, DAN DPPA ! SBM SUDAH MENGIRIMKAN SURAT PERMOHONAN DIALOG TERBUKA, NAMUN BELUM JUGA DIJAWAB. MOHON DOA DAN PARTISIPASINYA.
Salam,
Bagus Panuntun dan Patwa Alhuda, mahasiswa yang mencoba peduli pada kampusnya.
SUMBER : SUMUR
nyimeng
Nyimak dulu bray panjang bener trs kalian diancam DO itu bray? Mame rektor tutup kuping lg
awkey gan
Semoga cepet selesai masalah BONBINnya
kalau ga ad BonBin mau makan dimana ane
kalau ga ad BonBin mau makan dimana ane
sangat panjang gan, cermatin dulu sambil nyimak
Panjang bener kaya kereta
Ane gatau bonbin tp kayanya enak banget tempat makan nya
Berharap yg terbaik, gan
Berharap yg terbaik, gan
Loh Bonbin Gembira Loka buka cabang di ugm ?
Ikutan nyimak
Quote:Original Posted By mutenroshi23 ►
nyimeng :nyantai
Quote:Original Posted By sandbox466 ►
Nyimeng mulu lu bree...:cih
coba sesekali ngelem gan
biar ngerasain sensasi melayang ala kaum proletar
nyimeng :nyantai
Quote:Original Posted By sandbox466 ►
Nyimeng mulu lu bree...:cih
coba sesekali ngelem gan
biar ngerasain sensasi melayang ala kaum proletar
Quote:Original Posted By dayang.keriput ►
coba sesekali ngelem gan
biar ngerasain sensasi melayang ala kaum proletar
ngelem bikin kepala berdengung kayak ada lebah di dalam kepala gan
coba sesekali ngelem gan
biar ngerasain sensasi melayang ala kaum proletar
ngelem bikin kepala berdengung kayak ada lebah di dalam kepala gan
Quote:Original Posted By mutenroshi23 ►
ngelem bikin kepala berdengung kayak ada lebah di dalam kepala gan
kalo gitu tambah kecubung gan biar campur aduk
ngelem bikin kepala berdengung kayak ada lebah di dalam kepala gan
kalo gitu tambah kecubung gan biar campur aduk
BonBin itu keBon Binatang ya gan?
atau kantin yg ada di kebon binatang?
duh gagal paham hammer
Via: Kaskus.co.id
atau kantin yg ada di kebon binatang?
duh gagal paham hammer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar