Pages


Jumat, 15 Januari 2016

Mengapa Rilisian Fisik Masih Menjadi Pilihan Asik?

Salam super Agan-Agan!

Kali ini ane mau bahas soal musik. Buat Ane, musik itu udah semacam soudtrack kehidupan, mungkin agan-agan juga mengalami hal yang sama seperti ane, di mana setiap moment-moment dalam hidup Agan semacam ada soundtracknya gitu. Ceileh. Uhuy.

Kali ini ane lagi gak mau bahas lagu-lagu kenangan ane sih gan, gak penting juga buat agan-agan . Tapi ane mau bahas mengenai koleksi ane gan. Karena kecintaan ane dengan musik, terutama musik Indonesia, ane termasuk salah satu orang yang masih suka ngoleksi rilisan fisik, semacam cd atau kaset gitu maksudnya gan. Vinyl juga termasuk sih, tapi ane gak koleksi vinyl karena ane ga punya playernya, dan itu agak kemahalan buat ane, hehehe.



Di era sekarang yang serba digital ini, ane amati kalo orang-orang udah jarang beli cd (kalo kaset emang udah jarang juga yang produksi sih). Para musisi juga udah pada merilis album mereka dalam wujud digital, mungkin karena ngeliat pasarnya juga sih gan. Karena orang juga udah mulai beli lagu dalam format digital, lebih cepat, simpel, mudah, dan bisa langsung di-play juga di hpnya. gak heran sih, kalo beberapa gerai toko cd terkenal akhirnya menutup tokonya.



Spoiler for berita:
Disc Tarra Akan Tutup 40 Gerai di Seluruh Indonesia

Menurunnya tradisi membeli album rilisan fisik, pengunduhan musik secara ilegal dan berubahnya pola konsumsi musik ke digital platform atau streaming musik beberapa tahun terakhir ini berdampak terhadap meruginya bisnis yang dijalankan toko-toko musik di berbagai belahan dunia. Tutupnya beberapa cabang milik raksasa retail toko musik seperti Tower Records dan HMV di berbagai negara perlahan namun pasti juga menimpa berbagai toko musik di Indonesia. Setelah salah satu retail musik legendaris yang ada di Indonesia, Aquarius Mahakam, gulung tikar pada akhir 2013 lalu, kali ini berita duka datang dari kelompok usaha Disc Tarra.

Salah satu rantai toko musik terbesar di Indonesia tersebut pada masa puncaknya pernah memiliki lebih dari 100 gerai yang tersebar di beberapa kota di Tanah Air. Tetapi pada akhir 2015 ini, mereka merencanakan akan menutup sekitar 40 gerai di beberapa kota dan hanya menyisakan delapan gerai – hanya berlokasi di Jakarta.

“Kami memang belum mengumumkan secara official akan tutup sih. Total yang direncanakan tutup itu sekitar 40 toko di beberapa kota di Indonesia dan sekitar delapan toko Disc Tarra yang ada di Jakarta akan tetap buka dan kami pertahankan,” ujar Miranty Paramitha, A&R International Disc Tarra ketika dihubungi Rolling Stone melalui sambungan telepon pada Rabu (4/11) pagi.

Miranty kemudian mengungkapkan bahwa pendapatan Disc Tarra melalui penjualan CD dan DVD yang terus turun sejak lima tahun lalu menjadi penyebab mereka harus menutup puluhan gerai tersebut.

“Turun drastis banget (pendapatannya). Sejak 2010 sebenarnya penjualan CD sudah mulai turun, tapi saat itu memang belum drastis. Dan petinggi Disc Tarra saat itu masih berusaha untuk mempertahanan toko tetap buka. Tetapi akhirnya secara bisnis memang keuntungannya yang didapat tidak bagus,” jelas Miranty.

Walau merencanakan akan menutup 40 gerai, Miranty menceritakan rencana Disc Tarra untuk ikut mengikuti perkembangan zaman: terjun ke dunia streaming musik.

Ia menjelaskan: “So far, kami belum tahu apakah akan beralih ke bisnis musik yang lainnya atau tidak. Selain retail, kami kan juga punya label rekaman musik dan itu masih berjalan. Tapi ada kemungkinan dan rencana Disc Tarra akan ke arah digital. Kami akan bekerjasama dengan salah satu aggregator music streaming.”

Menjelang ditutup, beberapa gerai Disc Tarra sejak satu bulan terakhir telah menjalankan promo diskon untuk beberapa produknya dan akan terus dijalankan hingga gerai-gerai tersebut tutup beroperasi. Untuk informasi delapan gerai yang direncanakan tetap dibuka, Miranty memastikan gerai Disc Tarra yang berada di Kelapa Gading dan mall Kota Kasablanka adalah salah duanya.

sumber


Ketika toko CD tumbang satu demi satu

Jadi, kenapa Disc Tarra mau menutup 40 tokonya? Karena CD tak laku. Orang ogah beli.
Kalau diringkas, itulah alasan Disc Tarra, seperti dilaporkan oleh Rolling Stones Indonesia, dalam "Disc Tarra Akan Tutup 40 Gerai di Seluruh Indonesia" (Rabu, 4/11/2015).

Dua tahun lalu Aquarius di Jalan Mahakam, Jakarta Selatan, toko terakhir grup Aquarius Musikindo, juga tutup.

Setahun sebelumnya, MusiKlub di Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan, juga tutup. Toko ini dulu punya CD rock impor yang kadang tak ada di toko lain. Sebelumnya, Duta Suara menutup beberapa toko Beatz! miliknya. Lalu sejumlah toko Societie, milik Disc Tarra, juga tutup.

Ya, nyatanya tak semua toko CD tutup. Duta Suara masih ada di Jalan Sabang dan Plaza Senayan (Jakarta Pusat). Harika masih ada di sejumlah lokasi. Pondok Pujian, penyedia lagu-lagu Nasrani, masih buka. Sangaji, yang dulu kuat di jalur jazz, juga masih buka -- tapi raknya di Gandaria City, Jakarta Selatan, mulai ada yang melompong.

Sebagian dari toko-toko tadi masih melayani pemesanan daring.

Kini dalam mobil angkot yang penumpang di sisi kanan-kiri adalah 6-4 orang, pun dalam bus kota dan kereta rel listrik Jabodetabek, secara serampangan boleh disebut bahwa enam dari sebelas orang (orang keduabelas adalah sopir) memegang ponselnya. Terutama pada jam berangkat dan pulang kerja.

Dari enam orang itu, yang empat memasang earphones (bahkan headphones). Kita anggap saja mereka itu sedang mendengarkan lagu.

Orang lain tak tahu lagu apa yang sedang mereka dengarkan. Dengan ponsel, atau iPod (kalau masih ada yang memakainya), maka musik adalah urusan masing-masing.

Musiknya bisa dari koleksi MP3, bisa dari radio, atau dari pengaliran (streaming) apa saja. Tentang musik mungkin juga bisa diralat: bisa saja belum tentu lagu karena ada yang mendengarkan lawak.

Soal lokasi, angkutan umum bisa berubah ke kubus-kubus hingga dapur dalam kantor. Orang-orang ber-headphones. Pemutarnya bisa pindah dari ponsel ke komputer. Tentang penangkup sepasang kuping, itu pun telah menjadi barang yang yang diminati, begitu pun amplifier-nya

Bagi orang sekitar, headphone seseorang seperti tempurung bagi dunia sunyi pemakainya. Padahal dengan pemutar yang terhubung ke internet, si pemakai tenggelam dalam keriuhan tanpa mengganggu telinga orang lain. Para pemakai berbagi pengalaman menikmati sebuah lagu. Begitu pun untuk informasi musik, terutama lagu baru.

Satu orang menyetel radio dan pemutar lain, lalu penghuni lain terpaksa ikut mendengar -- dan terpaksa mengenal sejumlah lagu.
Pokoknya musik

Ada dua persoalan di sini. Pemutar dan lagunya. Pemutar kian beragam, dan yang portabel kian disukai, sementara lagunya bergantung pada selera -- termasuk selera pengarah musik di stasiun radio.

Hasilnya adalah dua kata: pokoknya musik. Soal dari mana datangnya lagu, apakah legal atau ilegal, itu soal lain. Begitu pun diskusi yang sebaiknya dibahas di forum audiophile: lebih merdu mana antara musik digital (banyak macam, beragam kualitas) dan analog.

Dalam "pokoknya musik", semuanya berujung pada satu hal yakni penikmatan musik secara personal. Kesan saya makin ke sini makin berkurang penularan selera musikal ala rumah keluarga lama.

Ala keluarga lama? Satu orang menyetel radio dan pemutar lain, lalu penghuni lain terpaksa ikut mendengar -- dan terpaksa mengenal sejumlah lagu. Penindasan auditif melalui pengulangan trek telah menancapkan lagu ke dalam benak seisi rumah.

Sekarang beda, kan? Untuk TV masih banyak keluarga yang hanya memiliki satu. Untuk pemutar musik, dalam satu kamar bisa lebih dari satu, minimum berupa ponsel.

Alat dan ketersediaan lagu memungkinkan pemanjaan kebutuhan personal. Harga beragam pemutar kian terjangkau, sementara daya beli juga menguat, toh ponsel Android di bawah Rp1 juta juga ada.

Jadi, buat apa beli CD untuk Anda dengarkan di mana saja dan kapan saja, padahal Anda tak mau mundur ke era Discman (misalnya masih ada) karena juga harus membawa beberapa keping CD dalam tas.

Dengan ponsel, ratusan lagu bisa terjejalkan. Pemutar musik dalam mobil juga ramah peranti musik digital, kalau perlu dengan menambahkan adapter.

Harga sekeping CD Happiness and Sadness (Imanissimo, 2013) di MusikPlus Rp250.000. Bukan kemasan khusus, termasuk mahal untuk band Indonesia. Harga album sepuluh lagu progressive rock itu di iTunes Rp49.000. Seperlima harga kemasan fisik.

Pengandaian subjektif saya, audio kemasan fisik -- di luar urusan kualitas -- masih ada (saja) yang doyan. Di Duta Suara masih ada kaset; musik Indonesia maupun luar harganya mulai Rp26.000.

Piringan hitam (PH) Indonesia juga ada di sana. Serial JK Records tahun 1980-an, sejak Heidy Diana sampai Dian Piesesha, masih tersegel, sekepingnya seharga Rp300.000. Setara harga Demajors menjajakan vinyl Surya Namaskar (Dewa Budjana, 2014) yang juga Rp300.000.

Dalam dunia klangenan, ketidakpraktisan bukanlah pasal utama. Bagi yang suka, kalau PH tak bisa diputar dalam mobil, ya putar saja CD atau versi MP3-nya, toh turntable seperti Denon DP-200USB bisa mengonversi trek ke USB flash disk yang tertancap.

Alasan penyuka CD serupa orang yang masih membeli buku dan majalah cetak (atau bahkan koran cetak). Ada rasa penikmatan yang berbeda. Untuk media rekam musik, isinya toh sama-sama musik. Lagi pula tak setiap orang punya kerewelan auditif yang menuntut standar hi-fi.

Kelompok klangenan ini tak sebanyak penyuka kepraktisan yang ogah direpoti alat pemutar dan rak penyimpanan pelat, kaset, dan cakram. Dengan format digital maka semuanya lebih simpel. Musik bisa diputar di mana-mana.

Toko CD berkurang tapi lagu tak berkurang, malah terus bertambah. Format digital, dengan bantuan headphones dan earphones, memanjakan siapa pun yang rakus musik tapi sadar bahwa sehari tetap 24 jam. Setiap kesempatan sebisanya untuk menyumpalkan musik ke telinga.

Saya tak tahu hitungannya, tapi pastilah mengoperasikan toko CD, termasuk menggaji karyawan (setidaknya pas banderol upah minimum provinsial), itu mahal.

Lalu apakah para penikmat MP3 itu mengalami proses jemu CD dan kemudian berpindah format?

Pertanyaan itu tak penting. Kehidupan konsumen tak harus dijalani secara urut. Orang tak harus mengalami piringan hitam lalu kembali lagi ke piringan hitam seperti pada sebagian penikmat musik sekarang ini.

sumber


Nah, kalo ane sendiri, masih suka banget beli rilisan fisik. Kenapa? Ane punya beberapa alasannya.

Quote:1. Jadi Memorabilia


dapet tanda tangan. cihuy!

Dibandingkan format digital yang cuma bertengger di laptop dan hp kita, rilisan fisik tentu ada wujudnya. Album fisik bisa disimpan jadi kenang-kenangan yang berharga, mengingatkan pada orang tertentu, atau moment tertentu. Belum lagi kalau kita bisa dapetin tanda-tangan musisinya langsung di album itu. Rasanya jadi berharga berkali-kali lipat.


Quote:2. Artwork yang menarik


Album Maliq & D' Essentials dengan desain pop up yang unik

Album fisik dilengkapi desain sampul yang ga ada pada album digital. pada album digital ada juga sih desainnya, dalam bentuk gambar digital juga. Kalo album fisik biasanya terdapat artwork tambahan sebagai bonus, yang bikin tampilan cdnya makin menarik. Beberapa musisi juga menggunakan cara ini agar album mereka lebih menarik, dengan tampilan cd yang gak biasa, pendengar juga jadi seneng dengan bentuk cd yang unik.



Quote:3. Packaging yang lengkap

Album Seringai dengan limited edition package memberikan bonus stiker dan poster

Packaging juga menjadi salah satu alasan ane membeli album fisik gan, selain karen ane suka lagu dan musisinya. Kalau albumnya dikemas dengan cara menarik, misalnya dikasih paket limited sticker, poster atau kaos, ane jadi lebih semangat belinya.


Quote:4. Bisa buat Investasi


cd langka bisa dijual lagi kalo rela sih

Investasi melalui cd? bisa dong Gan! Pada album-album tertentu yang udah gak dirilis lagi atau langka, atau mungkin musisinya yang legendaris, albumnya bisa dijual lagi dengan harga yang lebih mahal. Terutama dalam kalangan penggemar setia yang pengen ngelengkapin album musisi kesayangannya, mereka akan memburu album-album lama musisi kesayangan mereka.


Quote:5. Bisa buat Warisan


sebagian koleksi ane yang bakal jadi warisan


Koleksi CD agan mau diwarisin? Kayaknya ane bakalan gitu gan. Karena ane cukup posesif dengan koleksi cd kesayangan ane, maka kelak ane ingin mewariskannya untuk generasi penerus, alias anak ane nanti. Biar dia tumbuh besar dengan musik-musik berkualitas pilihan orang tuanya. Cieh.


Itu dia beberapa alasan mengapa ane masih suka beli album fisik daripada digital.Ya, sebenarnya semua ada plus minusnya gan, ane cuma sharing pendapat pribadi ane aja.


Kalo agan sendiri, lebih suka beli yang mana? Saran ane, yang mana pun asal jangan bajakan ya Gan!
PERTAMAX cantik

ntah lah gan
kalo ane lebih suka beli di itunes gan tp kadang2 juga suka minta ke temen2 kalo ada lagu yg bagus
Karena lebih berarti :
Widih
digital aja gan kalo ane




digital lebih simple gan..... semua orang suka yang simple
Jadi sangat memerable.
Sekarang ane juga suka dengerin musik tapi diradio. Cd ama tape dah tau pda kemana, punya kaset.musik dah kaya gimana gitu
Sekarang mah orang nyari yang simpel aja
TOOOOSSS DLU KALO GITU GAN


Ane masi beli CD band lokal indonesia. kesenangan ane saat beli CD adalah buka dan liat lirik lalu thanks to nya. biasa nyebutin band2 lain juga. disitu keren dan bikin ane WOW. sorry kalo lebay tapi ane senang
Legend tapi sayang manusia diera sekarang nyari yang simple and gratis
he he ane sih mendingan yg gretongan gan
Sekarang lebih prefer ke digital dah....disetel sesering apapun gak ada penurunan kualitas audionya...
setelah era inet ane hanya taunya 4sh**ed
buat koleksi gan
Sayangnya rilisan fisik gak bisa didownload bray
kalo cd ane dah gak punya, kalo kaset masih ada ,walo tinggal dikit
udh susah nyari nya
cocok tuh buat kolektor gan
buat warisan bener banget tuh gan
buat kenangan dah pasti itu
karena yang fisik, lebih asik

Via: Kaskus.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar