Pages


Rabu, 24 Februari 2016

[SEPAKBOLA] Mengapa Kesebelasan Ibu Kota Totaliter Lebih Mudah Juara?



Ilustrasi: Timnas Italia Merayakan Kemenangan Piala Dunia 1938


Antal Szabo, penjaga gawang timnas Hungaria, mengucapkan kalimat yang kontroversial setelah timnya dikalahkan Italia dengan skor 4-2 di final Piala Dunia 1938: “Gawang saya memang kemasukan empat gol, tapi paling tidak saya telah menyelamatkan nyawa mereka."

Sepakbola seperti yang memang telah (dan akan terus) kita ketahui merupakan olahraga yang paling efektif dalam mempengaruhi dan mengambil simpati massa. Pada awal abad ke-20, negara-negara Eropa yang tengah mengalami berbagai pergantian sistem pemerintahan kerap menjadikan pergelaran olahraga, khususnya sepakbola, sebagai kendaraan menuju kekuasaan.

Mussolini, Hitler dan Franco adalah nama-nama besar yang dikenal pandai memanfaatkan situasi tersebut untuk kepentingan propaganda. Semakin besar kesuksesan kesebelasannya, semakin mudah pula mereka menyebarluaskan paham politiknya kepada dunia.

Stefan Szymansky dan Simon Kuper dalam bukunya yang berjudul Soccernomics, membahas dalam bab khusus terkait kesuksesan sebuah kesebelasan di Eropa. Dalam buku itu dikatakan bahwa parameter yang paling sederhana dalam menentukan suksesnya sebuah kesebelasan adalah dengan melihat partisipasi mereka di kompetisi Eropa.

Hasilnya menunjukkan bahwa ibu kota negara totalitarian atau totalitarian capital cenderung memiliki prestasi kesebelasan yang baik. Menariknya, paham inilah yang digunakan oleh ketiga pemimpin di atas selama mereka berkuasa.

Sejak kompetisi Eropa dimulai pada tahun 1956, totalitarian capital setidaknya mampu menguasai 13 dari 16 final pertama kompetisi Eropa dan mampu membawa pulang delapan trofi, yang semuanya dimenangkan baik oleh Real Madrid (Madrid) maupun Benfica (Lisbon). Ketika itu, Real Madrid adalah kesebelasan kesayangan Jendral Fransisco Franco, Presiden Spanyol yang tidak segan merampas hak-hak warga Katalan. Sedangkan Benfica berada di bawah komando Antonio Salazar yang berkuasa selama 36 tahun di Portugal.


"Sejak kompetisi Eropa dimulai pada tahun 1956, totalitarian capital setidaknya mampu menguasai 13 dari 16 final pertama kompetisi Eropa dan mampu membawa pulang delapan trofi"
Setelah wafatnya Salazar dan memudarnya era fasisme pada 1970, totalitarian capital tetap menancapkan dominasinya di ranah Eropa. Steaua Bucharest yang dikomandoi anak dari diktator Rumania, Nicolae Ceausescu, berjaya pada tahun 1986. Sementara Red Star Belgrade melakukan hal yang sama pada 1991.

Di Jerman Timur, Erich Mielke, kepala kepolisian rahasia Jerman Timur yang juga merangkap sebagai presiden kesebelasan Dynamo Berlin, berpengaruh besar terhadap kedigdayaan Dynamo dari tahun 1979 hingga 1988. Walaupun tidak pernah menjuarai kejuaraan Eropa, mereka sangat mendominasi kompetisi lokal.

Hal yang berkebalikan terjadi pada ibu kota negara demokratis atau democratic capital seperti Paris, London, Istanbul dan Roma, yang kita kenal saat ini sebagai kiblat sepakbola modern. Sejak dimulainya kejuaraan Eropa, kesebelasan-kesebelasan ibu kota ini belum pernah memenangkan satu gelar Eropa sekalipun, justru kota-kota provinsi seperti Munchen, Milan, Liverpool bahkan Nottingham mengoleksi gelar Eropa yang lebih banyak. Hal tersebut tentunya sebelum Chelsea membawa harum nama London sekaligus memutus kutukan ketika berhasil menjuarai Liga Champions pada 2012.

"Hal yang berkebalikan terjadi pada ibu kota negara demokratis atau democratic capital seperti Paris, London, Istanbul dan Roma"

Rival sekota Chelsea: Arsenal dan Tottenham, belum bisa berbicara banyak di Liga Champions. Belakangan dua kesebelasan tersebut justru lebih sibuk memperebutkan posisi tiga dan empat di kompetisi domestik. Sementara kesebelasan kebanggaan kota Paris, Paris Saint Germain (PSG), bahkan baru muncul ke permukaan setelah diakuisisi oleh miliarder asal Qatar pada 2011. Mari lupakan kompetisi Eropa, di kompetisi domestik saja PSG belum bisa menyaingi Stade de Reims dalam perolehan titel ligue 1.

Bergeser ke tenggara, di kota Roma, persaingan sengit dua kesebelasan lokal, Lazio dan AS Roma, di Serie-A sepertinya tidak menular ke kompetisi Eropa. Total trofi kedua kesebelasan ini di Eropa belum (dan entah kapan) bergerak dari angka nol. Sementara itu Istanbul, kota tempat Besiktas, Galatasaray dan Fenerbahce memperebutkan supremasi Super Lig, begitu kesulitan lolos dari fase grup Liga Champions.

Berlin mungkin memiliki catatan yang paling buruk dari empat kota di atas. Hertha Berlin kesebelasan kebanggaan Ibu kota Jerman ini bahkan terakhir menjadi juara liga domestik sebelum nama Bundesliga dicetuskan.

Mungkin satu-satunya pengecualian adalah kota Amsterdam. Ibu kota negeri tulip ini telah memenangi empat gelar Liga Champions bersama Ajax Amsterdam. Namun predikat ibu kota yang dimiliki Amsterdam tampaknya hanyalah simbolisme semata karena kenyataannya roda pemerintahan, parlemen serta kerajaan, justru berada di kota Den Haag, dengan kesebelasan ADO Den Haag yang lebih banyak meluangkan waktunya di divisi bawah liga Belanda.

Fenomena ini setidaknya menimbulkan satu pertanyaan, faktor apa yang membuat totalitarian capital begitu dominan di Eropa? Penulis mencoba menjelaskan tiga poin logis yang mungkin berguna untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Pertama, pemusatan sumber daya. Sentralisasi merupakan hal yang lazim dilakukan oleh penguasa di negara-negara totalitarian, artinya seluruh potensi sumber daya potensial dikerahkan ke ibu kota karena disanalah para pemimpin, birokrat, tentara dan mereka yang memiliki jabatan tinggal. Pembangunan dilakukan di berbagai sektor mulai dari infrastruktur, perekonomian hingga klub sepakbola lokalnya. Seperti yang dilakukan oleh Erich Mielke terhadap Dynamo Berlin, selama ia menjabat klub diberikan fasilitas dan finansial yang memadai bahkan seluruh pemain terbaik Jerman Timur bermain untuk Dynamo Berlin karena pengaruhnya.

Kedua, rakyat yang fanatik.
Fanatik atau fanatisme yang dimaksud di sini mungkin lebih menyerupai perlakuan warga Korea Utara kepada Kim Jong Un saat ini. Kebanggaan dan kecintaan yang mereka pupuk terhadap pemimpinnya secara psikologis berpengaruh pada kehidupan mereka sehari-hari termasuk ketika membela kesebelasan sepakbolanya. Coba sedikit kita bayangkan ketika Sir Alex Ferguson menjabat sebagai manajer Manchester United, kharisma yang diberikan Ferguson sangat berpengaruh terhadap moral dan performa pemain di lapangan. Tidak sedikit pemain yang ingin bertahan maupun datang ke Manchester United karena faktor keberadaannya. Bahkan kita yang hanya duduk manis di depan tv saja merasa kehilangan ketika ia memutuskan pensiun.

Ketiga, pemimpin yang otoriter. Gaya kepemimpinan tegas a la militer yang diterapkan oleh pemimpin membuat rakyat segan dan tunduk kepada pemimpinnya. Anggap saja hairdryer treatment yang kerap diberikan oleh Ferguson ketika ada pemainnya yang membandel. Hasilnya jauh dari kata mengecewakan, 38 titel ia berikan ketika menjajah Setan Merah selama 26 tahun. Ketakutan akan hukuman yang diberikan menuntut mereka untuk berbuat sesuai aturan dan arahan pimpinannya.

Mungkin ketakutan semacam itulah yang juga dirasakan oleh Antal Szabo ketika mengucapkan kalimat yang mengawali tulisan ini. Mendengar berita bahwa lawan mereka dihadiahi hairdryer treatment tepat sebelum pertandingan final, ia pun ‘rela’ gawangnya kebobolan sehingga timnya kalah di Piala Dunia. Adalah sebuah telegram yang dikirim langsung oleh kepala negara yang kental akan paham fasisnya, “Vincere o morire!”, “Menang atau mati!”, tulisnya. Benito Mussolini pun Juara Dunia.





- - - - - - - - - - - - - -

This article was originally written by Rasyid Hidayat and published in panditfootball.com on October 21st 2015
photo : beyondthefieldofplay & globoesporte
Sama aja kek di sini gan, Persija cuma itungan jari jadi juara nya.
wahh keren banget nih.. detail banget bahas tentang sepakbolanya..

Jagoan ente kesebelasan ibu kota totaliter juga gan?

kalo ane sih lebih suka kesebelasan kota pelabuhan
Come back when you're 20 gan muehehe
Quote:Original Posted By madjezzt
Sama aja kek di sini gan, Persija cuma itungan jari jadi juara nya.


dah gitu lagak supporternya lalayeye pamer kekuatan, buat malu klubnya aje

maklum sih labil semua
page one.. forza juve!
pendukungnya biasanya lebih fanatik dan banyaaak
beda crita ya sma jerman barat digdaya nya saat Perang dunia udah usai
persija sendirian ya
Widihh mantap
Quote:Original Posted By jimmy.k4


dah gitu lagak supporternya lalayeye pamer kekuatan, buat malu klubnya aje

maklum sih labil semua


Weee lah, baru mau komen ginian😂
Forza Milan....
lumayan 7 kali....
gak juga, itu stereotype aja gan
Ane fans jupe gan. Walau bukan ibu kota tetap sip.
Chelsea gan the only team in london with a champions trophy
lazio jadi penerima piala winners abadi.
Kasian gan tuntutannya kemenangan
Wew, memang bener juga yak
Quote:Original Posted By ilhammilan
Forza Milan....
lumayan 7 kali....


Forza Milan Gan

" il club piu titulato al mondo "
(Klub Tersukses di Dunia)

Per siempre :beer :beer :beer
Boleh juga gan analisis ente soal beginian
Via: Kaskus.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar