Negara Indonesia Didakwa Dalam Peristiwa 1965
NBC Indonesia 2015-11-11. 17:04
Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana memberikan sambutan dalam pembukaan sidang.
NBCIndonesia.com - Ketua jaksa penuntut dalam sidang Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) mengenai peristiwa tahun 1965 yang menewaskan ratusan ribu jiwa mendakwa negara Indonesia sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Dalam pembukaan sidang di Den Haag, Selasa (10/11), ketua jaksa Todung Mulya Lubis mengatakan negara Indonesia secara umum dianggap bertanggung jawab karena adanya sembilan dakwaan.
Dakwaan itu antara lain meliputi penghilangan paksa, pemenjaraan, penyiksaan, dan kekerasan seksual pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965.
Sidang diketuai dua hakim internasional, termasuk seorang hakim dari Afrika Selatan, kata anggota panitia, Joss Wibisono.
"Hakim bertanya apakah ada pihak lain yang hadir, selain saksi dan jaksa. Sebenarnya, dia bertanya tentang hal itu karena ia berharap pemerintah Indonesia datang, tetapi ternyata tidak datang. Ia menyesalkan ketidakhadiran pemerintah Indonesia," jelas Joss Wibisono.
Tidak mengikat
Setidaknya 10 saksi dihadirkan dalam sidang selama empat hari.
Pemerintah Indonesia tidak mengakui proses yang berlangsung di Den Haag, Belanda ini.
"Pemerintah Indonesia sudah mempunyai proses tersendiri untuk rekonsiliasi terkait dengan sejarah kita yang masa lalu itu," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir.
"Baik pemerintah yang sebelumnya maupun yang saat ini sudah mengambil beberapa langkah dalam upaya untuk merealisasikan rekonsiliasi," katanya.
Sidang Pengadilan Rakyat Internasional 1965 tidak menginduk ke badan-badan resmi sehingga proses maupun keputusan sidang tidak mempunyai kekuatan hukum.
Para hakim mendengarkan dakwaan jaksa yang terdiri dari sembilan dakwaan.
Namun penyelenggara berharap keputusan dapat digunakan sebagai dorongan moral bagi pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan pembunuhan massal terhadap simpatisan dan pendukung PKI.
Jumlah korban yang dibunuh diperkirakan mencapai ratusan ribu orang hingga satu juta orang.
Sejauh ini peristiwa 1965 di Indonesia belum sampai ke pengadilan meskipun penyelidikan telah dilakukan.
Penyelidikan Komnas HAM pada 2012, yang diserahkan kepada Jaksa Agung, menyebutkan semua pejabat dalam struktur Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dan semua panglima militer daerah pada saat itu dapat dimintai pertanggungjawaban.(bbc)
(NBCIndonesia.com)
http://www.nbcindonesia.com/2015/11/...kwa-dalam.html
Todung Masih Yakin Jokowi Mau Minta Maaf ke Korban 1965
CNN Indonesia Sabtu, 31/10/2015 07:58 WIB
Todung Masih Yakin Jokowi Mau Minta Maaf ke Korban 1965Todung Mulya Lubis. (REUTERS/Darren Whiteside)
Ubud, CNN Indonesia -- Pengacara dan aktivis Todung Mulya Lubis berharap Presiden Jokowi mau membuka hati untuk para korban peristiwa 1965. Ia mengingatkan komitmen Jokowi untuk menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk soal 1965.
“Secara pribadi, saya yakin Jokowi mau melakukan itu (minta maaf mewakili negara). Tapi Jokowi dikelilingi oleh banyak orang yang pasti memengaruhi pengambilan keputusannya,” kata Todung pada diskusi panel Jokowi, The Year That Was yang digelar di Ubud Writers & Readers Festival, Bali, Jumat (30/10).
Ketika membantu Jokowi pada kampanye 2014, ujar Todung, Jokowi menempatkan soal HAM sebagai agenda prioritasnya. Namun kini setelah setahun berlalu, kata pria kelahiran 1949 itu, harus diakui pemerintahan Jokowi belum melaksanakan apa yang semula diniatkan.
Diskusi soal 1965 bahkan “diberangus”, seperti yang terjadi pada UWRF tahun ini. Menurut catatan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), terjadi 27 pengekangan oleh pemerintah pada periode Oktober 2014 hingga Oktober tahun ini, yang sebagian besar terkait peristiwa 1965.
Lihat juga:Elsam: Setahun Jokowi Memerintah, Ada 27 Pengekangan
Jokowi, meski diyakini Todung secara pribadi bersedia minta maaf kepada korban 1965, pada Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober mengatakan tak akan meminta maaf soal itu.
“Tidak ada pemikiran mengenai minta maaf. Sampai detik ini tidak ada ke arah itu,” ujar Jokowi, menampik isu ia bakal minta maaf dalam reuni anggota keluarga Partai Komunis Indonesia dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) –organisasi wanita yang memperjuangkan sosialisme dan feminisme, serta memiliki hubungan kuat dengan PKI sehingga berimbas pada tewasnya banyak anggotanya karena dianggap Orde Baru terlibat peristiwa Gerakan 30 September.
G30S yang mengakibatkan terbunuhnya tujuh perwira tinggi militer Indonesia pada 30 September 1965 memicu dugaan pembunuhan massa yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada periode 1965-1966. Mereka yang menjadi korban adalah orang-orang yang dituding sayap kiri. Jika tak dibunuh, mereka ditahan dan disiksa.
Sebelumnya, istri mantan petinggi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Oey Hay Djoen, Jame Luyke, menyesalkan ketiadaan niat Jokowi untuk minta maaf kepada korban 1965 mewakili pemerintah Republik Indonesia.
Menurut Jane, permintaan maaf negara kepada korban amat penting. Di sisi lain, ia memahami kesulitan Jokowi untuk sekadar minta maaf, sebab ujar Jane, orang-orang di sekitar Jokowi masih banyak yang tidak mendukung negara meminta maaf.
“Jokowi hati-hati dan tidak mau sembrono,” kata Jane yang kini berusia 81 tahun.
Suami Jane, Oey Hay Djoen, merupakan anggota Sekretariat Pusat Lekra yang pernah menjadi anggota parlemen dari PKI pada masa Orde Lama. Beberapa hari setelah G30S, Oey ditangkap dan dipenjara selama 14 tahun tanpa diadili.
Suatu saat nanti, ujar Jane, negara tetap harus minta maaf secara resmi kepada korban 1965.
Genosida
Ketua Panitia Penyelenggara Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) Kejahatan Kemanusiaan 1965 di Indonesia, Nursyahbani Katjasungkana yang juga menghadiri Ubud Writers & Readers Festival, menyatakan 500 ribu sampai sejuta orang diduga mati dibunuh dalam kurun waktu 1965-1966.
IPT 1965 yang akan berlangsung di Den Haag, Belanda, 10-13 November, memilih menggunakan kata “kejahatan kemanusiaan” ketimbang “pembantaian” atau “pembunuhan massal.” Meski demikian, kata Nursyahbani, sesungguhnya elemen genosida, yakni pembunuhan besar-besaran secara sistematis terhadap satu bangsa, masuk dalam kejahatan kemanusiaan itu.
“Banyak ahli hukum internasional memasukkan peristiwa pembantaian 1965 sebagai genosida. Pemusnahan atas dasar kepentingan politik ini bahkan berlangsung sampai sekarang dengan adanya stigma dan kekerasan terhadap para korban dan penyintas (survivor),” ujar Nursyahbani seperti juga ia tuliskan dalam situs IPT 1965, 1965tribunal.org.
Paham komunisme yang dianggap ateis, kata Nursyahbani, pada periode 1965-1966 telah menggerakkan sekelompok masyarakat untuk melakukan pembunuhan massal, pemusnahan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pemenjaraan, penahanan sewenang-wenang, dan perbuatan-perbuatan kejam lainnya.
Kejahatan-kejahatan itu, ujar Nursyahbani, dilakukan secara sistematis dan meluas hampir di seluruh Indonesia, dan sampai sekarang impunitas tetap berlangsung. Mereka yang melakukan kejahatan melenggang bebas dari jerat hukum. Pemerintah RI pun tak meminta maaf atau merehabilitasi para korban.
Tiga jenis korban
Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan peristiwa 1965 merupakan pembunuhan massal terbesar dalam sejarah Indonesia. Ia membandingkannya dengan penjajahan Belanda di Indonesia selama 350 tahun yang menewaskan 125 ribu orang. Sementara pembantaian 1965 menewaskan 500 ribu orang.
Asvi menganggap pemerintah RI permu minta maaf atas empat hal. Pertama, Presiden perlu minta maaf kepada mereka yang dicabut kewarganegaraannya setelah G30S dan kini menjadi pengasingan (exile) di luar negeri.
“Mereka ini tidak terlibat politik dan tak terkait dengan G30S. Mereka dikirim ke luar negeri oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960-an untuk menuntut ilmu guna mempersiapkan pembangunan teknologi. Tapi karena dianggap sebagai pendukung Soekarno, paspor mereka dicabut,” kata Asvi kepada CNN Indonesia.
Salah satu korban yang baru-baru ini mendapat sorotan adalah Tom Ijas, warga Salido, Pesisir Selatan, Sumatra Barat, yang pada tahun 1960 dikirim pemerintahan Soekarno untuk belajar teknik pertanian ke China, dan tak bisa kembali lagi ke Indonesia pasca-peristiwa 1965.
Tom yang kini berusia 77 tahun dan menjadi warga negara Swedia setelah kehilangan kewarganegaraan Indonesia, kembali terusir dari RI pada 11 Oktober saat hendak berziarah ke makan sang ayah. Sebelum ziarahnya terlaksana, Tom ditahan polisi. Ia lalu dideportasi dan dicekal.
Kedua, Presiden perlu meminta maaf kepada lebih dari 10 ribu orang yang dibuang ke Pulau Buru selama 10 tahun, dalam kurun waktu 1969-1979. Mereka, kata Asvi, ditahan dan dihukum kerja paksa di kamp konsentrasi di salah satu pulau Kepulauan Maluku itu tanpa tahu kapan akan dibebaskan.
Ketiga, Presiden perlu minta maaf kepada anak-anak dan keluarga korban 1965 yang dilarang menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (kini TNI). “Mereka menjadi korban diskriminasi. Padahal memilih lapangan kerja dijamin dalam UUD 1945,” ujar Asvi.
Pada akhirnya, Nursyahbani berharap Pengadilan Rakyat Internasional 1965 dapat membuat negara mengakui kejahatan kemanusiaan pasca-G30S memang benar adanya.
http://www.cnnindonesia.com/nasional...e-korban-1965/
---------------------------
Targetnya jelas ... Presiden NKRI, Jokowi, minta maaf dan minta ampun sama orang-orang PKI.
Selanjutnya? Yaaa, sewajarnya PKI harus direhabilatasi dan diberi kesempatan hidup kembali donk sebagai parpol!
NBC Indonesia 2015-11-11. 17:04
Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana memberikan sambutan dalam pembukaan sidang.
NBCIndonesia.com - Ketua jaksa penuntut dalam sidang Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) mengenai peristiwa tahun 1965 yang menewaskan ratusan ribu jiwa mendakwa negara Indonesia sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Dalam pembukaan sidang di Den Haag, Selasa (10/11), ketua jaksa Todung Mulya Lubis mengatakan negara Indonesia secara umum dianggap bertanggung jawab karena adanya sembilan dakwaan.
Dakwaan itu antara lain meliputi penghilangan paksa, pemenjaraan, penyiksaan, dan kekerasan seksual pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965.
Sidang diketuai dua hakim internasional, termasuk seorang hakim dari Afrika Selatan, kata anggota panitia, Joss Wibisono.
"Hakim bertanya apakah ada pihak lain yang hadir, selain saksi dan jaksa. Sebenarnya, dia bertanya tentang hal itu karena ia berharap pemerintah Indonesia datang, tetapi ternyata tidak datang. Ia menyesalkan ketidakhadiran pemerintah Indonesia," jelas Joss Wibisono.
Tidak mengikat
Setidaknya 10 saksi dihadirkan dalam sidang selama empat hari.
Pemerintah Indonesia tidak mengakui proses yang berlangsung di Den Haag, Belanda ini.
"Pemerintah Indonesia sudah mempunyai proses tersendiri untuk rekonsiliasi terkait dengan sejarah kita yang masa lalu itu," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir.
"Baik pemerintah yang sebelumnya maupun yang saat ini sudah mengambil beberapa langkah dalam upaya untuk merealisasikan rekonsiliasi," katanya.
Sidang Pengadilan Rakyat Internasional 1965 tidak menginduk ke badan-badan resmi sehingga proses maupun keputusan sidang tidak mempunyai kekuatan hukum.
Para hakim mendengarkan dakwaan jaksa yang terdiri dari sembilan dakwaan.
Namun penyelenggara berharap keputusan dapat digunakan sebagai dorongan moral bagi pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan pembunuhan massal terhadap simpatisan dan pendukung PKI.
Jumlah korban yang dibunuh diperkirakan mencapai ratusan ribu orang hingga satu juta orang.
Sejauh ini peristiwa 1965 di Indonesia belum sampai ke pengadilan meskipun penyelidikan telah dilakukan.
Penyelidikan Komnas HAM pada 2012, yang diserahkan kepada Jaksa Agung, menyebutkan semua pejabat dalam struktur Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dan semua panglima militer daerah pada saat itu dapat dimintai pertanggungjawaban.(bbc)
(NBCIndonesia.com)
http://www.nbcindonesia.com/2015/11/...kwa-dalam.html
Todung Masih Yakin Jokowi Mau Minta Maaf ke Korban 1965
CNN Indonesia Sabtu, 31/10/2015 07:58 WIB
Todung Masih Yakin Jokowi Mau Minta Maaf ke Korban 1965Todung Mulya Lubis. (REUTERS/Darren Whiteside)
Ubud, CNN Indonesia -- Pengacara dan aktivis Todung Mulya Lubis berharap Presiden Jokowi mau membuka hati untuk para korban peristiwa 1965. Ia mengingatkan komitmen Jokowi untuk menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk soal 1965.
“Secara pribadi, saya yakin Jokowi mau melakukan itu (minta maaf mewakili negara). Tapi Jokowi dikelilingi oleh banyak orang yang pasti memengaruhi pengambilan keputusannya,” kata Todung pada diskusi panel Jokowi, The Year That Was yang digelar di Ubud Writers & Readers Festival, Bali, Jumat (30/10).
Ketika membantu Jokowi pada kampanye 2014, ujar Todung, Jokowi menempatkan soal HAM sebagai agenda prioritasnya. Namun kini setelah setahun berlalu, kata pria kelahiran 1949 itu, harus diakui pemerintahan Jokowi belum melaksanakan apa yang semula diniatkan.
Diskusi soal 1965 bahkan “diberangus”, seperti yang terjadi pada UWRF tahun ini. Menurut catatan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), terjadi 27 pengekangan oleh pemerintah pada periode Oktober 2014 hingga Oktober tahun ini, yang sebagian besar terkait peristiwa 1965.
Lihat juga:Elsam: Setahun Jokowi Memerintah, Ada 27 Pengekangan
Jokowi, meski diyakini Todung secara pribadi bersedia minta maaf kepada korban 1965, pada Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober mengatakan tak akan meminta maaf soal itu.
“Tidak ada pemikiran mengenai minta maaf. Sampai detik ini tidak ada ke arah itu,” ujar Jokowi, menampik isu ia bakal minta maaf dalam reuni anggota keluarga Partai Komunis Indonesia dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) –organisasi wanita yang memperjuangkan sosialisme dan feminisme, serta memiliki hubungan kuat dengan PKI sehingga berimbas pada tewasnya banyak anggotanya karena dianggap Orde Baru terlibat peristiwa Gerakan 30 September.
G30S yang mengakibatkan terbunuhnya tujuh perwira tinggi militer Indonesia pada 30 September 1965 memicu dugaan pembunuhan massa yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada periode 1965-1966. Mereka yang menjadi korban adalah orang-orang yang dituding sayap kiri. Jika tak dibunuh, mereka ditahan dan disiksa.
Sebelumnya, istri mantan petinggi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Oey Hay Djoen, Jame Luyke, menyesalkan ketiadaan niat Jokowi untuk minta maaf kepada korban 1965 mewakili pemerintah Republik Indonesia.
Menurut Jane, permintaan maaf negara kepada korban amat penting. Di sisi lain, ia memahami kesulitan Jokowi untuk sekadar minta maaf, sebab ujar Jane, orang-orang di sekitar Jokowi masih banyak yang tidak mendukung negara meminta maaf.
“Jokowi hati-hati dan tidak mau sembrono,” kata Jane yang kini berusia 81 tahun.
Suami Jane, Oey Hay Djoen, merupakan anggota Sekretariat Pusat Lekra yang pernah menjadi anggota parlemen dari PKI pada masa Orde Lama. Beberapa hari setelah G30S, Oey ditangkap dan dipenjara selama 14 tahun tanpa diadili.
Suatu saat nanti, ujar Jane, negara tetap harus minta maaf secara resmi kepada korban 1965.
Genosida
Ketua Panitia Penyelenggara Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) Kejahatan Kemanusiaan 1965 di Indonesia, Nursyahbani Katjasungkana yang juga menghadiri Ubud Writers & Readers Festival, menyatakan 500 ribu sampai sejuta orang diduga mati dibunuh dalam kurun waktu 1965-1966.
IPT 1965 yang akan berlangsung di Den Haag, Belanda, 10-13 November, memilih menggunakan kata “kejahatan kemanusiaan” ketimbang “pembantaian” atau “pembunuhan massal.” Meski demikian, kata Nursyahbani, sesungguhnya elemen genosida, yakni pembunuhan besar-besaran secara sistematis terhadap satu bangsa, masuk dalam kejahatan kemanusiaan itu.
“Banyak ahli hukum internasional memasukkan peristiwa pembantaian 1965 sebagai genosida. Pemusnahan atas dasar kepentingan politik ini bahkan berlangsung sampai sekarang dengan adanya stigma dan kekerasan terhadap para korban dan penyintas (survivor),” ujar Nursyahbani seperti juga ia tuliskan dalam situs IPT 1965, 1965tribunal.org.
Paham komunisme yang dianggap ateis, kata Nursyahbani, pada periode 1965-1966 telah menggerakkan sekelompok masyarakat untuk melakukan pembunuhan massal, pemusnahan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pemenjaraan, penahanan sewenang-wenang, dan perbuatan-perbuatan kejam lainnya.
Kejahatan-kejahatan itu, ujar Nursyahbani, dilakukan secara sistematis dan meluas hampir di seluruh Indonesia, dan sampai sekarang impunitas tetap berlangsung. Mereka yang melakukan kejahatan melenggang bebas dari jerat hukum. Pemerintah RI pun tak meminta maaf atau merehabilitasi para korban.
Tiga jenis korban
Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan peristiwa 1965 merupakan pembunuhan massal terbesar dalam sejarah Indonesia. Ia membandingkannya dengan penjajahan Belanda di Indonesia selama 350 tahun yang menewaskan 125 ribu orang. Sementara pembantaian 1965 menewaskan 500 ribu orang.
Asvi menganggap pemerintah RI permu minta maaf atas empat hal. Pertama, Presiden perlu minta maaf kepada mereka yang dicabut kewarganegaraannya setelah G30S dan kini menjadi pengasingan (exile) di luar negeri.
“Mereka ini tidak terlibat politik dan tak terkait dengan G30S. Mereka dikirim ke luar negeri oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960-an untuk menuntut ilmu guna mempersiapkan pembangunan teknologi. Tapi karena dianggap sebagai pendukung Soekarno, paspor mereka dicabut,” kata Asvi kepada CNN Indonesia.
Salah satu korban yang baru-baru ini mendapat sorotan adalah Tom Ijas, warga Salido, Pesisir Selatan, Sumatra Barat, yang pada tahun 1960 dikirim pemerintahan Soekarno untuk belajar teknik pertanian ke China, dan tak bisa kembali lagi ke Indonesia pasca-peristiwa 1965.
Tom yang kini berusia 77 tahun dan menjadi warga negara Swedia setelah kehilangan kewarganegaraan Indonesia, kembali terusir dari RI pada 11 Oktober saat hendak berziarah ke makan sang ayah. Sebelum ziarahnya terlaksana, Tom ditahan polisi. Ia lalu dideportasi dan dicekal.
Kedua, Presiden perlu meminta maaf kepada lebih dari 10 ribu orang yang dibuang ke Pulau Buru selama 10 tahun, dalam kurun waktu 1969-1979. Mereka, kata Asvi, ditahan dan dihukum kerja paksa di kamp konsentrasi di salah satu pulau Kepulauan Maluku itu tanpa tahu kapan akan dibebaskan.
Ketiga, Presiden perlu minta maaf kepada anak-anak dan keluarga korban 1965 yang dilarang menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (kini TNI). “Mereka menjadi korban diskriminasi. Padahal memilih lapangan kerja dijamin dalam UUD 1945,” ujar Asvi.
Pada akhirnya, Nursyahbani berharap Pengadilan Rakyat Internasional 1965 dapat membuat negara mengakui kejahatan kemanusiaan pasca-G30S memang benar adanya.
http://www.cnnindonesia.com/nasional...e-korban-1965/
---------------------------
Targetnya jelas ... Presiden NKRI, Jokowi, minta maaf dan minta ampun sama orang-orang PKI.
Selanjutnya? Yaaa, sewajarnya PKI harus direhabilatasi dan diberi kesempatan hidup kembali donk sebagai parpol!
Tgl 13 november besok dimulai persidangannya
sejarah yang kelam
Wong anak-anak bekas PKI aja gak pernah minta maaf soal pembunuhan jendral dan kyai tahun 1965
puji tuhan
kalo jokowi turun siapa penggantinya
apakah ada yang lebih hebat dari jokowi
potong kon tol gw kalo ada yag lebih hebat dari jokowi
kalo jokowi turun siapa penggantinya
apakah ada yang lebih hebat dari jokowi
potong kon tol gw kalo ada yag lebih hebat dari jokowi
pki itu proyek besar amrikiyah
cuma gara2 melarang bioskop menayangkan film dari ameririkiayh
cuma gara2 melarang bioskop menayangkan film dari ameririkiayh
Berharap militer kudeta rezim sekarang :
Quote:Original Posted By namida. ►
Salah satu provokator pada masa pilpres adalah Allan Nairn, seorang jurnalis berkewarganegaraan Indonesia yang menurut pengakuannya sendiri telah melanggar etika seorang jurnalis karena membuka wawancara off-the-record dengan Prabowo Soebianto. Saya bingung, masa belum kapok diadu domba dan dijajah bule selama 350 tahun? Masa mental inlander kita tidak hilang sehingga menganggap apapun yang dikatakan Allan Nairn terutama mengenai isi wawancara pasti benar karena dia bule? Aya-aya wae..
Allan Nairn adalah jurnalis yang antara lain meliput perang “restorasi kemerdekaan Timor Leste/Timles,” tapi tahukah anda diserahkan kemana informasi yang dikumpulkan oleh Allan Nairn di Timles? Jawabannya adalah kepada Tapol UK yang berbasis di Inggris dan tidak peduli informasinya valid atau masih mentah, informasi tersebut akan diolah Tapol UK sebagai bahan propaganda penyebar kebencian terhadap Indonesia di dunia internasional melalui apa yang dinamakan Tapol’s Bulletin yang isinya selama puluhan tahun sangat tipikal: Indonesia penjajah Papua, Indonesia penjajah Timles, Indonesia penjajah Aceh, Indonesia pelanggar HAM, Indonesia pembunuh dll. Allan Nairn juga terlibat dalam berbagai kegiatan seperti konferensi yang bertujuan mendiskriditkan Indonesia itu.
Kebijakan Tapol UK mendiskriditkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak berhenti sampai penerbitan buletin Tapol UK saja, tapi mereka juga menggalang dukungan politik di dunia internasional kepada gerakan apapun di semua propinsi di Indonesia yang mau memisahkan diri dan kedua hal tersebut masih tetap dilakukan sampai sekarang, contoh pendirian ETAN di Amerika untuk mendukung kemerdekaan Timles yang sekarang masih terus mendiskriditkan Indonesia adalah pekerjaan Tapol UK; kemudian Ingat pendirian markas OPM di Oxford beberapa tahun silam? Itu kerjaan Tapol UK; Ingat film the Act of Killing atau Senyap dari Joshua Oppenheimer? Tapol UK adalah sponsor utamanya; ingat kehadiran pemimpin OPM boneka bernama Benny Wenda di Australia yang didampingi pengacara Australia bernama Jennifer Robinson? Kerjaan Tapol UK dan ketika kuliah di Inggris, Jennifer Robinson menjadi anak didik langsung dari pendiri Tapol UK bernama Carmel Budiardjo, dan masih banyak lagi.
Contoh kerasisan Carmel Budiardjo dalam memfitnah Indonesia dalam tulisannya tahun 1983, yang singkatnya mengatakan bahwa Papua sudah jadi sasaran Indonesia sejak orang Indonesia menginjakan kakinya di Papua pada zaman kuno, di mana orang Indonesia memperbudak rakyat Papua dan mengincar burung-burung langka tapi kemudian sejak tahun 1962 rakyat Indonesia mengincar sumber daya alam di Papua sehingga “pribumi setempat” harus dipaksa pindah apapun caranya, termasuk kekerasan:
“Ever since the Indonesians set foot on Papuan soil, human rights abuses have been the rule of the day. In the antiquity or the dream time, the Indonesian quest had been Papuan slaves and the birds of paradise. Since 1962 however the quest has been for the rich mineral deposits, the vast virgin forest with its timber and the ‘empty’ land. The West Papuans have had to be removed from their land by hook or by crook.”
http://www.papuaerfgoed.org/files/budiardjo_1983_obliteration.pdf
Tentu saja kalimat Carmel Budiardjo di atas adalah fitnah yang sangat keji sebab nama Indonesia baru muncul pasca kebangkitan nasional tahun 1920an dan mungkin hanya orang dari kerajaan yang berlokasi di Maluku atau Sulawesi dan sesekali Majapahit dari Jawa yang pernah singgah di Papua, itupun tidak pernah ada bukti perbudakan orang Papua sebab Indonesia tidak seperti peradaban bule yang sangat maju dan menjajah dunia dari ujung utara sampai ujung selatan selama ratusan tahun, dan sampai sekarang tidak bisa meninggalkan sikap “bule knows best.” Kemudian alasan Soekarno mengejar Papua adalah karena hukum internasional menyatakan semua daerah yang dikuasai penjajah otomatis menjadi milik negara baru ketika merdeka, dan Indonesia tidak tahu Papua kaya akan sumber daya alam karena yang menemukan dan kemudian merahasiakan temuan tembaga di Eitsberg adalah Freeport. Ketertarikan Indonesia di Papua hanya politik dan tidak ada yang bersifat imperialisme.
Salah satu bukti kerja sama Allan Nairn dengan Carmel Budiardjo:
“The Indonesia Human Rights Network is grassroots-based and U.S. policy-focused, utilizing educational outreach, press work, protest and lobbying. Its advisory board includes such internationally recognized human rights activists as Carmel Budiardjo, Dr. George Aditjondro, Kerry Kennedy Cuomo and journalist Allan Nairn. A national kick-off conference on human rights in Indonesia will be held February 23 - 25, 2001 at George Washington University in Washington, D.C.”
http://etan.org/estafeta/01/winter/4human.htm
Siapa Carmel Budiardjo dan mengapa dia begitu membenci serta anti Indonesia?
Hari ini Carmel Budiardjo adalah seorang nenek Warga Negara Inggris berusia 90 tahun yang anti Indonesia, akan tetapi 60 tahun lalu dia adalah Carmel Brickman, Warga Negara Inggris penganut komunisme yang tinggal di Cekoslovakia yang saat itu bagian dari Uni Soviet, dan bekerja sebagai sekretaris di lembaga kemahasiswaan pada Universitas Cekoslovakia yang menjadi topeng dinas intelijen Cekoslovakia. Saat dia di Cekoslovakia Carmel Brickman bertemu dan menikah dengan Suswondo Budiardjo, anggota Komite Sentral Partai Komunis Indonesia sehingga sejak saat itulah dia mengganti nama menjadi Carmel Budiardjo.
Pada tahun 50an para petinggi PKI yang mengasingkan diri karena peristiwa Madiun 1948 pulang ke Indonesia, Carmel Budiardjo ikut suaminya dan tinggal di Indonesia dan aktif sebagai anggota PKI. Tahun 1965 ketika PKI berada dalam posisi terkuatnya dan sedang berjalan menuju eksekusi rencana pemberontakan yang dikenal sebagai G30S/PKI, bersama Njoto, ketua Divisi Propaganda dan Agitasi PKI, Carmel Budiardjo adalah penulis naskah pidato Soekarno. Salah satu contoh karya Carmel Budiardjo adalah semua pidato Soekarno terkait perebutan Papua Barat, jadi bisa dibilang Carmel Budiardjo salah satu yang berjasa dalam usaha Indonesia merebut Papua Barat, tapi ironisnya di masa depan dia malah mendiskriditkan Indonesia sebagai penjajah rakyat Papua Barat.
Pasangan suami-istri Budiardjo sangat terlibat dalam persiapan/prolog G30S/PKI terbukti salah satu korban G30S/PKI yaitu DI Panjaitan pernah menangkap Suswondo Budiardjo saat proses menyelundupkan senjata Chung dari Republik Rakyat China di dalam bahan bangunan untuk pendirian gedung CONEFO (sebagian senjata Chung yang terlanjur masuk adalah senjata yang digunakan pasukan G30S/PKI), sedangkan Carmel Budiardjo adalah pemalsu surat Duta Besar Andrew Gilchrist yang menyebut ada “bagian dari angkatan darat Indonesia” (our local army friend) yang bekerja sama dengan Amerika dan Inggris untuk menjatuhkan Soekarno kelak dikenal sebagai “Dokumen Gilchrist,” yang pertama kali disebar oleh Soebandrio kepada wartawan Al Ahram, Mesir pada tanggal 5 Juli 1965.
Menurut Ladislav Bittman, mantan intelijen Cekoslovakia dalam bukunya The Deception Game terbitan 1973, pembuatan Dokumen Gilchrist adalah salah satu operasi yang dilaksanakan Departemen D Dinas Intelijen Cekoslovakia yang tugasnya membuat operasi kabar bohong yaitu mengecoh musuh dengan memberikan informasi palsu kepadanya dengan asumsi dia akan menggunakan sebagai dasar membuat kesimpulan sesuai harapan pencetus kabar bohong, antara lain melalui mengirim surat palsu, surat kaleng dengan fotokopi dokumen palsu kepada pejabat berbagai negara atau surat kabar seperti New York Times dan Der Spiegel atau pejabat setempat yang sudah “dibeli” baik dengan gratifikasi sex atau uang dengan tujuan merusak kepercayaan kepada pejabat pemerintah dan pemimpin politik barat.
Dokumen Gilchrist adalah bagian dari Operation Palmer yang dicetuskan oleh Jenderal Agayants dari Uni Soviet dan Mayor Louda dari Cekoslovakia menyusul gerakan memboikot film-film Amerika di Indonesia dan kebencian itu dimanfaatkan oleh Departemen D untuk menciptakan propaganda bahwa William Palmer, direktur Association of American Film Importers di Indonesia adalah pemimpin CIA di Indonesia. Untuk melakukan hal tersebut Departemen D mengirim banyak surat kaleng anonim ke surat kabar di Indonesia yang isinya menuding Bill Palmer sebagai agen CIA, dan surat-surat tersebut kemudian menjadi sumber berita di berbagai surat kabar di Indonesia.
Berkat agitasi Departemen D, pada tanggal 1 April 1965 demonstran PKI antara lain Gerwani dan Pemuda Rakyat menyerang villa Palmer di Gunung Mas dan menurut sejarah adalah lokasi penemuan Dokumen Gilchrist. Uni Soviet juga memainkan peranan memanas-manaskan suasana melalui siaran luar negeri Radio Moskow yang isinya menyudutkan Amerika terkait “usaha subversi” di negara-negara asia oleh CIA, dan salah satunya adalah Bill Palmer yang selama belasan tahun melakukan kegiatan subversi di Indonesia, dan lain-lain.
Bukti Carmel Budiardjo pembuat Dokumen Gilchrist sangat mudah yaitu dari sangkalan pihak Inggris yang menyatakan walaupun secara tata bahasa tulisan di Dokumen Gilchrist memang ber-grammar ala Anglo Saxon, tapi mereka bukan pembuatnya. Berdasarkan fakta di atas maka kita menemukan petunjuk tentang siapa pembuat Dokumen Gilchrist:
1. Dia harus bisa grammar Inggris seperti seorang native speaker dan ahli dalam menulis dokumen diplomatik;
2. Dia harus memiliki hubungan dengan intelijen Cekoslovakia yang tinggal di Indonesia yang mana tahun 1965 sangat jarang karena Indonesia lebih dekat ke RRC daripada Uni Soviet; dan
3. Dia harus komunis yang dekat dengan pusat kekuasaan di Indonesia
Pada periode tahun 1964-1965 hanya ada satu orang di Indonesia yang memenuhi semua syarat di atas yaitu Carmel Budiardjo sebab dia adalah Warga Negara Inggris yang tinggal di Indonesia dan sebelumnya bekerja untuk lembaga intelijen Cekoslovakia dan di Indonesia pekerjaannya adalah menulis pidato kenegaraan untuk Soekarno, dan yang lebih penting lagi dia adalah komunis sekaligus istri dari petinggi PKI yang menyelundupkan senjata untuk persiapan pelaksanaan G30S/PKI. Dokumen Gilchrist menyebabkan kelahiran rumor Dewan Jenderal dan keduanya adalah penyebab Soekarno memukul “para jenderal” terlebih dulu, sehingga bisa disimpulkan Carmel Budiardjo adalah salah satu orang yang mendalangi G30S/PKI.
Ketika ditangkap dan dipenjara Orde Baru, Carmel Budiardjo belum diketahui sebagai dalang G30S/PKI dan oleh karena itu dia dideportasi ke Inggris ketika pemerintah Inggris meminta Indonesia melepaskan Carmel Budiardjo. Sesampainya di Inggris, Carmel mendirikan Tapol UK yang berfungsi sebagai alat propaganda dan agitasi melawan Indonesia dengan isu HAM, demokrasi, “pembantaian 1965″. Ingat, dia adalah tangan kanan Njoto, Ketua Departemen Propaganda dan Agistasi PKI, sehingga melakukan propaganda memang keahlian Carmel Budiardjo.
Tapol UK bersama ISAInya Goenawan Mohamad dan penerbit Hasta Mitra milik kuartet PKI sangat berjasa mengembalikan minat sebagian rakyat Indonesia kepada komunisme menggunakan HAM, demokrasi dan “PKI korban Orde Baru” sebagai pintu masuk, padahal Ladislav Bittman, mantan dinas intelijen Cekoslovakia saja sudah menyatakan G30S adalah G30S/PKI dan bukan G30S/Soeharto atau G30S/USA. Kemudian, Tapol UK melalui kaki tangannya di Indonesia khususnya Kontras dan Amnesty International asal Inggris yang sedang dalam proses masuk Indonesia adalah provokator yang mendorong para eks tahanan politik/tapol PKI yang tergabung dalam YPKP’65 mempersiapkan suatu People’s Tribunal International di Solo (!!!) Tahun 2013 untuk mengangkat kasus 1965 ke International Tribunal Court yang ditargetkan berjalan tahun 2015 melalui Special Reporter Komisi HAM PBB, UNWEG, dan pengadilan People’s International Tribunal Massacre 1965/1966 di Den Hagg pada Oktober 2015 yang mana salah satu tergugatnya adalah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Saya cukup yakin pasti banyak yang sudah mau berteriak: “PKI tidak bersalah,” “Soeharto dalangnya bekerja sama dengan CIA untuk mengeruk emas Papua dan menyingkirkan Soekarno,” atau “urusan internal angkatan darat,” bla bla bla..dan saya mau katakan bahwa semuanya salah. Banyak yang bisa dibahas mengenai hal ini tapi saya kuatir akan membuat artikel ini melebar kemana-mana, kendati demikian tetap perlu mendapat porsi pembahasan:
1. Saya sudah membaca lebih dari 1.000 dokumen CIA dan Departemen Luar Negeri Amerika yang berstatus declassified dengan kesimpulan tidak ada selembarpun yang mengatakan CIA terlibat prolog G30S/PKI padahal dari dokumen berjenis declassified kita tahu operasi CIA menggulingkan Mossadeq untuk digantikan oleh Shah Iran. CIA memang terlibat, tapi hanya pada epilog melalui pemberian daftar nama anggota PKI kepada Kostrad dan uang kepada KAP Gestapu pimpinan Jusuf Wanandi oleh Pater Beek, agen CIA di Indonesia.
2. “Soeharto adalah dalang,” dalam disertasi John Rossa sebenarnya memplagiat teori “missing link” Profesor W.F. Weirtheim, sosiolog komunis dari Belanda yang masih memiliki mental “bule knows best” dan diterima mentah-mentah oleh orang Indonesia bermental inlander padahal teori tersebut dibuat tanpa sedikitpun pernah datang melakukan penelitian di Indonesia perihal G30S/PKI. Semua ilmuwan yang pernah meneliti ke Indonesia dan diketahui tidak memiliki ideologi politik ke kiri atau ke kanan selain kepentingan akademik seperti Harold Crouch, Herbert Feith, Antonie Dake, Victor M. Fic, dll menyatakan teori Weirtheim tidak benar dan asal buat sebab tidak ada bukti yang memperlihatkan indikasi Soeharto terlibat. Lagipula logikanya bila Soeharto terlibat tentu dia akan diganyang oleh teman-temannya di angkatan darat, tapi AH Nasution justru ada di garis depan membela Soeharto dari tuduhan Weirtheim.
Tanggapan Profesor Salim Said pada seorang murid Weirtheim yang menyampaikan bahwa menurut Weirtheim “Indonesia harus mengikuti cara Mao di RRC supaya tidak tunduk pada Amerika dan Soviet serta bagaimana Orde Baru didirikan Soeharto dengan bantuan CIA,” bisa menggambarkan bagaimana sosok Weirtheim yang sebenarnya:
“Eh, sampaikan kepada Wertheim, dia boleh berteori dan berpendapat apa saja di Amsterdam, tapi saya yang turun-temurun hidup di Indonesia sudah capek miskin. Dari kakek moyang saya di zaman kolonial sampai saya di zaman Soekarno, semua hidup miskin. Kalau untuk terhindar dari kemiskinan negeri saya terpaksa menerima bantuan dari Amerika, itu jauh lebih baik dibanding tetap miskin dengan mengikuti nasihat Profesormu itu.”
(Salim Said, Dari Gestapu ke Reformasi, Penerbit Mizan halaman 178).
3. “Konflik internal angkatan darat” juga ciptaan ilmuwan komunis dengan sifat “bule knows best,” dari Universitas Cornell dalam tulisan yang dikenal sebagai “Cornell Paper” dari Ruth McVey dan Ben Anderson yang memang memiliki kedekatan dengan PKI sehingga mereka selalu membela PKI. Sudah lama teori-teori dalam Cornell Paper dinyatakan tidak berlaku oleh semua akademisi dan sejarahwan dunia, tapi mengapa masih terus dipakai oleh sejarawan Indonesia? Aneh sekali bukan?
Sumber informasi “kematian 500ribu s.d. 3juta komunis” yang sampai sekarang masih terus diulang adalah Ruth McVey yang ketika mengatakan itu di dalam sebuah seminar pemuda komunis di New York belum pernah menginjakan kaki di Indonesia untuk meneliti prolog sampai epilog G30S/PKI, padahal menurut Richard Cabot Howland, agen CIA di Indonesia yang mengikuti perkembangan amuk massa terhadap PKI mencatat komunis yang menjadi korban hanya 105.000 atau jauh di bawah jumlah korban komunis internasional selama komunisme berjaya yang mencapai 250juta jiwa.
https://www.cia.gov/library/center-for-the-study-of-intelligence/kent-csi/vol14no2/html/v14i2a02p_0001.htm
Bukti lain bahwa orang-orang Cornell terpengaruh oleh kedekatan mereka dengan PKI adalah ketika George Kahin, Ben Anderson, Ruth McVey mengirim surat-surat penuh kebencian dan memaki dengan kasar Herb Feith di Australia karena artikel yang seolah membenarkan “pembantaian komunis” di Indonesia atas alasan nesesitas atau kepentingan saat itu sebab apabila komunis tidak dihabisi maka non-komunis yang akan dibantai komunis Indonesia. Bayangkan menyerang secara pribadi hanya karena sebuah pendapat, sudah bisa dibayangkan kualitas Indonesianis dari Universitas Cornell kan?
http://www.aust-neth.net/transmission_proceedings/papers/Purdey.pdf
Nah, sekarang kita kembali ke pokok persoalan yaitu hubungan Allan Neirn dengan Carmel Budiardjo istri anggota CC PKI yang merupakan salah satu penyebab terjadinya G30S/PKI. Saya rasa rakyat Indonesia belum melupakan kekejaman PKI terhadap Indonesia, dan bila lupa maka dengan penuh kerendahan hati saya menyarankan supaya kita bertanya kepada diri sendiri: masih belum kapok diadu domba bule selama 350 tahun? Belum kapok diadu domba komunis dan PKI selama puluhan tahun? Belum kapok ditusuk dan dihianati PKI?
Untuk yang mau belajar lebih lanjut, di bawah ini ada beberapa bahan bacaan:
1. Salim Said, Dari Gestapu ke Reformasi, Penerbit Mizan.
2. Victor M. Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 1965, Penerbit Obor.
3. H. Abdul Mun’I'm DZ, Benturan NU-PKI, 1948-1965, Penerbit Langgar Swadaya.
4. Jemma Purdey, Dari Wina ke Yogyakarta, Kisah Hidup Herb Feith, Penerbit KPG.
5. Peristiwa 1 Oktober, Kesaksian Jenderal Besar Dr. AH Nasution, Penerbit Narasi.
6. Anton Tabah, Jenderal Besar Nasution Bicara Tentang G30S/PKI, Penerbit CV Sahabat Klaten.
7. Ladislav Bittman, The Deception Game. Czechoslovac Intelligence in Soviet Political Warfare. Syracure Research Corporation.
http://m.kompasiana.com/post/read/712843/1/allan-nairn-dan-dalang-rahasia-g30spki.html
Quote:Original Posted By namida. ►
Salah satu provokator pada masa pilpres adalah Allan Nairn, seorang jurnalis berkewarganegaraan Indonesia yang menurut pengakuannya sendiri telah melanggar etika seorang jurnalis karena membuka wawancara off-the-record dengan Prabowo Soebianto. Saya bingung, masa belum kapok diadu domba dan dijajah bule selama 350 tahun? Masa mental inlander kita tidak hilang sehingga menganggap apapun yang dikatakan Allan Nairn terutama mengenai isi wawancara pasti benar karena dia bule? Aya-aya wae..
Allan Nairn adalah jurnalis yang antara lain meliput perang “restorasi kemerdekaan Timor Leste/Timles,” tapi tahukah anda diserahkan kemana informasi yang dikumpulkan oleh Allan Nairn di Timles? Jawabannya adalah kepada Tapol UK yang berbasis di Inggris dan tidak peduli informasinya valid atau masih mentah, informasi tersebut akan diolah Tapol UK sebagai bahan propaganda penyebar kebencian terhadap Indonesia di dunia internasional melalui apa yang dinamakan Tapol’s Bulletin yang isinya selama puluhan tahun sangat tipikal: Indonesia penjajah Papua, Indonesia penjajah Timles, Indonesia penjajah Aceh, Indonesia pelanggar HAM, Indonesia pembunuh dll. Allan Nairn juga terlibat dalam berbagai kegiatan seperti konferensi yang bertujuan mendiskriditkan Indonesia itu.
Kebijakan Tapol UK mendiskriditkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak berhenti sampai penerbitan buletin Tapol UK saja, tapi mereka juga menggalang dukungan politik di dunia internasional kepada gerakan apapun di semua propinsi di Indonesia yang mau memisahkan diri dan kedua hal tersebut masih tetap dilakukan sampai sekarang, contoh pendirian ETAN di Amerika untuk mendukung kemerdekaan Timles yang sekarang masih terus mendiskriditkan Indonesia adalah pekerjaan Tapol UK; kemudian Ingat pendirian markas OPM di Oxford beberapa tahun silam? Itu kerjaan Tapol UK; Ingat film the Act of Killing atau Senyap dari Joshua Oppenheimer? Tapol UK adalah sponsor utamanya; ingat kehadiran pemimpin OPM boneka bernama Benny Wenda di Australia yang didampingi pengacara Australia bernama Jennifer Robinson? Kerjaan Tapol UK dan ketika kuliah di Inggris, Jennifer Robinson menjadi anak didik langsung dari pendiri Tapol UK bernama Carmel Budiardjo, dan masih banyak lagi.
Contoh kerasisan Carmel Budiardjo dalam memfitnah Indonesia dalam tulisannya tahun 1983, yang singkatnya mengatakan bahwa Papua sudah jadi sasaran Indonesia sejak orang Indonesia menginjakan kakinya di Papua pada zaman kuno, di mana orang Indonesia memperbudak rakyat Papua dan mengincar burung-burung langka tapi kemudian sejak tahun 1962 rakyat Indonesia mengincar sumber daya alam di Papua sehingga “pribumi setempat” harus dipaksa pindah apapun caranya, termasuk kekerasan:
“Ever since the Indonesians set foot on Papuan soil, human rights abuses have been the rule of the day. In the antiquity or the dream time, the Indonesian quest had been Papuan slaves and the birds of paradise. Since 1962 however the quest has been for the rich mineral deposits, the vast virgin forest with its timber and the ‘empty’ land. The West Papuans have had to be removed from their land by hook or by crook.”
http://www.papuaerfgoed.org/files/budiardjo_1983_obliteration.pdf
Tentu saja kalimat Carmel Budiardjo di atas adalah fitnah yang sangat keji sebab nama Indonesia baru muncul pasca kebangkitan nasional tahun 1920an dan mungkin hanya orang dari kerajaan yang berlokasi di Maluku atau Sulawesi dan sesekali Majapahit dari Jawa yang pernah singgah di Papua, itupun tidak pernah ada bukti perbudakan orang Papua sebab Indonesia tidak seperti peradaban bule yang sangat maju dan menjajah dunia dari ujung utara sampai ujung selatan selama ratusan tahun, dan sampai sekarang tidak bisa meninggalkan sikap “bule knows best.” Kemudian alasan Soekarno mengejar Papua adalah karena hukum internasional menyatakan semua daerah yang dikuasai penjajah otomatis menjadi milik negara baru ketika merdeka, dan Indonesia tidak tahu Papua kaya akan sumber daya alam karena yang menemukan dan kemudian merahasiakan temuan tembaga di Eitsberg adalah Freeport. Ketertarikan Indonesia di Papua hanya politik dan tidak ada yang bersifat imperialisme.
Salah satu bukti kerja sama Allan Nairn dengan Carmel Budiardjo:
“The Indonesia Human Rights Network is grassroots-based and U.S. policy-focused, utilizing educational outreach, press work, protest and lobbying. Its advisory board includes such internationally recognized human rights activists as Carmel Budiardjo, Dr. George Aditjondro, Kerry Kennedy Cuomo and journalist Allan Nairn. A national kick-off conference on human rights in Indonesia will be held February 23 - 25, 2001 at George Washington University in Washington, D.C.”
http://etan.org/estafeta/01/winter/4human.htm
Siapa Carmel Budiardjo dan mengapa dia begitu membenci serta anti Indonesia?
Hari ini Carmel Budiardjo adalah seorang nenek Warga Negara Inggris berusia 90 tahun yang anti Indonesia, akan tetapi 60 tahun lalu dia adalah Carmel Brickman, Warga Negara Inggris penganut komunisme yang tinggal di Cekoslovakia yang saat itu bagian dari Uni Soviet, dan bekerja sebagai sekretaris di lembaga kemahasiswaan pada Universitas Cekoslovakia yang menjadi topeng dinas intelijen Cekoslovakia. Saat dia di Cekoslovakia Carmel Brickman bertemu dan menikah dengan Suswondo Budiardjo, anggota Komite Sentral Partai Komunis Indonesia sehingga sejak saat itulah dia mengganti nama menjadi Carmel Budiardjo.
Pada tahun 50an para petinggi PKI yang mengasingkan diri karena peristiwa Madiun 1948 pulang ke Indonesia, Carmel Budiardjo ikut suaminya dan tinggal di Indonesia dan aktif sebagai anggota PKI. Tahun 1965 ketika PKI berada dalam posisi terkuatnya dan sedang berjalan menuju eksekusi rencana pemberontakan yang dikenal sebagai G30S/PKI, bersama Njoto, ketua Divisi Propaganda dan Agitasi PKI, Carmel Budiardjo adalah penulis naskah pidato Soekarno. Salah satu contoh karya Carmel Budiardjo adalah semua pidato Soekarno terkait perebutan Papua Barat, jadi bisa dibilang Carmel Budiardjo salah satu yang berjasa dalam usaha Indonesia merebut Papua Barat, tapi ironisnya di masa depan dia malah mendiskriditkan Indonesia sebagai penjajah rakyat Papua Barat.
Pasangan suami-istri Budiardjo sangat terlibat dalam persiapan/prolog G30S/PKI terbukti salah satu korban G30S/PKI yaitu DI Panjaitan pernah menangkap Suswondo Budiardjo saat proses menyelundupkan senjata Chung dari Republik Rakyat China di dalam bahan bangunan untuk pendirian gedung CONEFO (sebagian senjata Chung yang terlanjur masuk adalah senjata yang digunakan pasukan G30S/PKI), sedangkan Carmel Budiardjo adalah pemalsu surat Duta Besar Andrew Gilchrist yang menyebut ada “bagian dari angkatan darat Indonesia” (our local army friend) yang bekerja sama dengan Amerika dan Inggris untuk menjatuhkan Soekarno kelak dikenal sebagai “Dokumen Gilchrist,” yang pertama kali disebar oleh Soebandrio kepada wartawan Al Ahram, Mesir pada tanggal 5 Juli 1965.
Menurut Ladislav Bittman, mantan intelijen Cekoslovakia dalam bukunya The Deception Game terbitan 1973, pembuatan Dokumen Gilchrist adalah salah satu operasi yang dilaksanakan Departemen D Dinas Intelijen Cekoslovakia yang tugasnya membuat operasi kabar bohong yaitu mengecoh musuh dengan memberikan informasi palsu kepadanya dengan asumsi dia akan menggunakan sebagai dasar membuat kesimpulan sesuai harapan pencetus kabar bohong, antara lain melalui mengirim surat palsu, surat kaleng dengan fotokopi dokumen palsu kepada pejabat berbagai negara atau surat kabar seperti New York Times dan Der Spiegel atau pejabat setempat yang sudah “dibeli” baik dengan gratifikasi sex atau uang dengan tujuan merusak kepercayaan kepada pejabat pemerintah dan pemimpin politik barat.
Dokumen Gilchrist adalah bagian dari Operation Palmer yang dicetuskan oleh Jenderal Agayants dari Uni Soviet dan Mayor Louda dari Cekoslovakia menyusul gerakan memboikot film-film Amerika di Indonesia dan kebencian itu dimanfaatkan oleh Departemen D untuk menciptakan propaganda bahwa William Palmer, direktur Association of American Film Importers di Indonesia adalah pemimpin CIA di Indonesia. Untuk melakukan hal tersebut Departemen D mengirim banyak surat kaleng anonim ke surat kabar di Indonesia yang isinya menuding Bill Palmer sebagai agen CIA, dan surat-surat tersebut kemudian menjadi sumber berita di berbagai surat kabar di Indonesia.
Berkat agitasi Departemen D, pada tanggal 1 April 1965 demonstran PKI antara lain Gerwani dan Pemuda Rakyat menyerang villa Palmer di Gunung Mas dan menurut sejarah adalah lokasi penemuan Dokumen Gilchrist. Uni Soviet juga memainkan peranan memanas-manaskan suasana melalui siaran luar negeri Radio Moskow yang isinya menyudutkan Amerika terkait “usaha subversi” di negara-negara asia oleh CIA, dan salah satunya adalah Bill Palmer yang selama belasan tahun melakukan kegiatan subversi di Indonesia, dan lain-lain.
Bukti Carmel Budiardjo pembuat Dokumen Gilchrist sangat mudah yaitu dari sangkalan pihak Inggris yang menyatakan walaupun secara tata bahasa tulisan di Dokumen Gilchrist memang ber-grammar ala Anglo Saxon, tapi mereka bukan pembuatnya. Berdasarkan fakta di atas maka kita menemukan petunjuk tentang siapa pembuat Dokumen Gilchrist:
1. Dia harus bisa grammar Inggris seperti seorang native speaker dan ahli dalam menulis dokumen diplomatik;
2. Dia harus memiliki hubungan dengan intelijen Cekoslovakia yang tinggal di Indonesia yang mana tahun 1965 sangat jarang karena Indonesia lebih dekat ke RRC daripada Uni Soviet; dan
3. Dia harus komunis yang dekat dengan pusat kekuasaan di Indonesia
Pada periode tahun 1964-1965 hanya ada satu orang di Indonesia yang memenuhi semua syarat di atas yaitu Carmel Budiardjo sebab dia adalah Warga Negara Inggris yang tinggal di Indonesia dan sebelumnya bekerja untuk lembaga intelijen Cekoslovakia dan di Indonesia pekerjaannya adalah menulis pidato kenegaraan untuk Soekarno, dan yang lebih penting lagi dia adalah komunis sekaligus istri dari petinggi PKI yang menyelundupkan senjata untuk persiapan pelaksanaan G30S/PKI. Dokumen Gilchrist menyebabkan kelahiran rumor Dewan Jenderal dan keduanya adalah penyebab Soekarno memukul “para jenderal” terlebih dulu, sehingga bisa disimpulkan Carmel Budiardjo adalah salah satu orang yang mendalangi G30S/PKI.
Ketika ditangkap dan dipenjara Orde Baru, Carmel Budiardjo belum diketahui sebagai dalang G30S/PKI dan oleh karena itu dia dideportasi ke Inggris ketika pemerintah Inggris meminta Indonesia melepaskan Carmel Budiardjo. Sesampainya di Inggris, Carmel mendirikan Tapol UK yang berfungsi sebagai alat propaganda dan agitasi melawan Indonesia dengan isu HAM, demokrasi, “pembantaian 1965″. Ingat, dia adalah tangan kanan Njoto, Ketua Departemen Propaganda dan Agistasi PKI, sehingga melakukan propaganda memang keahlian Carmel Budiardjo.
Tapol UK bersama ISAInya Goenawan Mohamad dan penerbit Hasta Mitra milik kuartet PKI sangat berjasa mengembalikan minat sebagian rakyat Indonesia kepada komunisme menggunakan HAM, demokrasi dan “PKI korban Orde Baru” sebagai pintu masuk, padahal Ladislav Bittman, mantan dinas intelijen Cekoslovakia saja sudah menyatakan G30S adalah G30S/PKI dan bukan G30S/Soeharto atau G30S/USA. Kemudian, Tapol UK melalui kaki tangannya di Indonesia khususnya Kontras dan Amnesty International asal Inggris yang sedang dalam proses masuk Indonesia adalah provokator yang mendorong para eks tahanan politik/tapol PKI yang tergabung dalam YPKP’65 mempersiapkan suatu People’s Tribunal International di Solo (!!!) Tahun 2013 untuk mengangkat kasus 1965 ke International Tribunal Court yang ditargetkan berjalan tahun 2015 melalui Special Reporter Komisi HAM PBB, UNWEG, dan pengadilan People’s International Tribunal Massacre 1965/1966 di Den Hagg pada Oktober 2015 yang mana salah satu tergugatnya adalah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Saya cukup yakin pasti banyak yang sudah mau berteriak: “PKI tidak bersalah,” “Soeharto dalangnya bekerja sama dengan CIA untuk mengeruk emas Papua dan menyingkirkan Soekarno,” atau “urusan internal angkatan darat,” bla bla bla..dan saya mau katakan bahwa semuanya salah. Banyak yang bisa dibahas mengenai hal ini tapi saya kuatir akan membuat artikel ini melebar kemana-mana, kendati demikian tetap perlu mendapat porsi pembahasan:
1. Saya sudah membaca lebih dari 1.000 dokumen CIA dan Departemen Luar Negeri Amerika yang berstatus declassified dengan kesimpulan tidak ada selembarpun yang mengatakan CIA terlibat prolog G30S/PKI padahal dari dokumen berjenis declassified kita tahu operasi CIA menggulingkan Mossadeq untuk digantikan oleh Shah Iran. CIA memang terlibat, tapi hanya pada epilog melalui pemberian daftar nama anggota PKI kepada Kostrad dan uang kepada KAP Gestapu pimpinan Jusuf Wanandi oleh Pater Beek, agen CIA di Indonesia.
2. “Soeharto adalah dalang,” dalam disertasi John Rossa sebenarnya memplagiat teori “missing link” Profesor W.F. Weirtheim, sosiolog komunis dari Belanda yang masih memiliki mental “bule knows best” dan diterima mentah-mentah oleh orang Indonesia bermental inlander padahal teori tersebut dibuat tanpa sedikitpun pernah datang melakukan penelitian di Indonesia perihal G30S/PKI. Semua ilmuwan yang pernah meneliti ke Indonesia dan diketahui tidak memiliki ideologi politik ke kiri atau ke kanan selain kepentingan akademik seperti Harold Crouch, Herbert Feith, Antonie Dake, Victor M. Fic, dll menyatakan teori Weirtheim tidak benar dan asal buat sebab tidak ada bukti yang memperlihatkan indikasi Soeharto terlibat. Lagipula logikanya bila Soeharto terlibat tentu dia akan diganyang oleh teman-temannya di angkatan darat, tapi AH Nasution justru ada di garis depan membela Soeharto dari tuduhan Weirtheim.
Tanggapan Profesor Salim Said pada seorang murid Weirtheim yang menyampaikan bahwa menurut Weirtheim “Indonesia harus mengikuti cara Mao di RRC supaya tidak tunduk pada Amerika dan Soviet serta bagaimana Orde Baru didirikan Soeharto dengan bantuan CIA,” bisa menggambarkan bagaimana sosok Weirtheim yang sebenarnya:
“Eh, sampaikan kepada Wertheim, dia boleh berteori dan berpendapat apa saja di Amsterdam, tapi saya yang turun-temurun hidup di Indonesia sudah capek miskin. Dari kakek moyang saya di zaman kolonial sampai saya di zaman Soekarno, semua hidup miskin. Kalau untuk terhindar dari kemiskinan negeri saya terpaksa menerima bantuan dari Amerika, itu jauh lebih baik dibanding tetap miskin dengan mengikuti nasihat Profesormu itu.”
(Salim Said, Dari Gestapu ke Reformasi, Penerbit Mizan halaman 178).
3. “Konflik internal angkatan darat” juga ciptaan ilmuwan komunis dengan sifat “bule knows best,” dari Universitas Cornell dalam tulisan yang dikenal sebagai “Cornell Paper” dari Ruth McVey dan Ben Anderson yang memang memiliki kedekatan dengan PKI sehingga mereka selalu membela PKI. Sudah lama teori-teori dalam Cornell Paper dinyatakan tidak berlaku oleh semua akademisi dan sejarahwan dunia, tapi mengapa masih terus dipakai oleh sejarawan Indonesia? Aneh sekali bukan?
Sumber informasi “kematian 500ribu s.d. 3juta komunis” yang sampai sekarang masih terus diulang adalah Ruth McVey yang ketika mengatakan itu di dalam sebuah seminar pemuda komunis di New York belum pernah menginjakan kaki di Indonesia untuk meneliti prolog sampai epilog G30S/PKI, padahal menurut Richard Cabot Howland, agen CIA di Indonesia yang mengikuti perkembangan amuk massa terhadap PKI mencatat komunis yang menjadi korban hanya 105.000 atau jauh di bawah jumlah korban komunis internasional selama komunisme berjaya yang mencapai 250juta jiwa.
https://www.cia.gov/library/center-for-the-study-of-intelligence/kent-csi/vol14no2/html/v14i2a02p_0001.htm
Bukti lain bahwa orang-orang Cornell terpengaruh oleh kedekatan mereka dengan PKI adalah ketika George Kahin, Ben Anderson, Ruth McVey mengirim surat-surat penuh kebencian dan memaki dengan kasar Herb Feith di Australia karena artikel yang seolah membenarkan “pembantaian komunis” di Indonesia atas alasan nesesitas atau kepentingan saat itu sebab apabila komunis tidak dihabisi maka non-komunis yang akan dibantai komunis Indonesia. Bayangkan menyerang secara pribadi hanya karena sebuah pendapat, sudah bisa dibayangkan kualitas Indonesianis dari Universitas Cornell kan?
http://www.aust-neth.net/transmission_proceedings/papers/Purdey.pdf
Nah, sekarang kita kembali ke pokok persoalan yaitu hubungan Allan Neirn dengan Carmel Budiardjo istri anggota CC PKI yang merupakan salah satu penyebab terjadinya G30S/PKI. Saya rasa rakyat Indonesia belum melupakan kekejaman PKI terhadap Indonesia, dan bila lupa maka dengan penuh kerendahan hati saya menyarankan supaya kita bertanya kepada diri sendiri: masih belum kapok diadu domba bule selama 350 tahun? Belum kapok diadu domba komunis dan PKI selama puluhan tahun? Belum kapok ditusuk dan dihianati PKI?
Untuk yang mau belajar lebih lanjut, di bawah ini ada beberapa bahan bacaan:
1. Salim Said, Dari Gestapu ke Reformasi, Penerbit Mizan.
2. Victor M. Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 1965, Penerbit Obor.
3. H. Abdul Mun’I'm DZ, Benturan NU-PKI, 1948-1965, Penerbit Langgar Swadaya.
4. Jemma Purdey, Dari Wina ke Yogyakarta, Kisah Hidup Herb Feith, Penerbit KPG.
5. Peristiwa 1 Oktober, Kesaksian Jenderal Besar Dr. AH Nasution, Penerbit Narasi.
6. Anton Tabah, Jenderal Besar Nasution Bicara Tentang G30S/PKI, Penerbit CV Sahabat Klaten.
7. Ladislav Bittman, The Deception Game. Czechoslovac Intelligence in Soviet Political Warfare. Syracure Research Corporation.
http://m.kompasiana.com/post/read/712843/1/allan-nairn-dan-dalang-rahasia-g30spki.html
? ha? korban 1965 juga jadi jokowi yg minta maaf?
obatnya dimakan bos
obatnya dimakan bos
Quote:Original Posted By beckychote ►
Berharap militer kudeta rezim sekarang :
demen banget kekacauan, psti pengangguran ato alayer ya.. .
Berharap militer kudeta rezim sekarang :
demen banget kekacauan, psti pengangguran ato alayer ya.. .
kan minta maaf nya ke korban.. bukan ke partai..
Quote:Original Posted By bill.sajak ►
puji tuhan
kalo jokowi turun siapa penggantinya
apakah ada yang lebih hebat dari jokowi
potong kon tol gw kalo ada yag lebih hebat dari jokowi
Emang lo punya? Bukannya sudah ngga berfungsi lagi?
puji tuhan
kalo jokowi turun siapa penggantinya
apakah ada yang lebih hebat dari jokowi
potong kon tol gw kalo ada yag lebih hebat dari jokowi
Emang lo punya? Bukannya sudah ngga berfungsi lagi?
BANGSAAAADDD...!!!!
BALIKIN NYAWA ADIK KAKEK GUE YG DIBANTAI PKI GEGARA GAK NGIKUT "PENGAJIAN" DI ALUN-ALUN KRATON...!!!
GAK TAU DIRI, MALAH BAWA-BAWA KE BELANDA...!!!!
ASSSSUUUUUUUU....!!!!
BALIKIN NYAWA ADIK KAKEK GUE YG DIBANTAI PKI GEGARA GAK NGIKUT "PENGAJIAN" DI ALUN-ALUN KRATON...!!!
GAK TAU DIRI, MALAH BAWA-BAWA KE BELANDA...!!!!
ASSSSUUUUUUUU....!!!!
Quote:Original Posted By aurora8 ►
Wong anak-anak bekas PKI aja gak pernah minta maaf soal pembunuhan jendral dan kyai tahun 1965
mending jokowi minta maaf ke Tuhan , ngapain minta maaf ke pkiller
Wong anak-anak bekas PKI aja gak pernah minta maaf soal pembunuhan jendral dan kyai tahun 1965
mending jokowi minta maaf ke Tuhan , ngapain minta maaf ke pkiller
antek PKI nongol
Gw setuju kalau pemerintah minta maaf tp di gorok dulu keturunan pki yg masih hidup skr ini.
Negara dah susah malah koar2 bikin gaduh diluar.
kalau mau minta maaf ya pki dulu donk yang minta maaf sama keluarga2 jendral yg dibantai. sama ulama2 di jawa jg dan sama rakyat yg udah dibantai.... enak aja mereka yg mulai kok kita yg minta maaf duluan.
Quote:Original Posted By oyi.jess ►
demen banget kekacauan, psti pengangguran ato alayer ya.. .
siapa yang menabur dia yang akan menuai :
demen banget kekacauan, psti pengangguran ato alayer ya.. .
siapa yang menabur dia yang akan menuai :
PKI berulah aja di rezim ini
sidang yg gag mengikat.
hayoo... minta maap apa kagak jok?
Via: Kaskus.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar